Saturday, April 30, 2016

Makalah Ulumul Quran: Nasikh Mansukh

Makalah Ulumul Quran: Nasikh Mansukh
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum Maqasid Al- Tasri’ adalah untuk kemaslahatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesiuai dengan tuntutan realitas Zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia. Proses serupa ini, disebut dengan nasikh mansukh.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al-qur’an.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas berkaitan dengan nasikh mansukhadalah sebagai berikut
A. Pengertian nasikh dan mansukh
B. Pendapat ulama tentang nasikh dan mansukh
C. Pengertian takhshish
D. Urgensi mempelajari konsep nasikh dan mansukh

BAB. II
NASIKH DAN MANSUKH

A. PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH

Secara etimologi Nasakh dapat diartikan menghapus, menghilangkan (izalah), yang memindahkan (naql), mengubah (tahwil) dan menggganti (tabdil). Sejalan dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali mengartikan Nasakh dengan 2 macam yaitu : pertama الازلة:yang berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang sering berkata نسحت الشمس الظل(Cahaya Matahari menghilangkan bayang-bayang). Kedua نقل الشيئ الى موضع.yaitu memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya.
Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:
a.      Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (12) أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (13) [المجادلة/12، 13] 
12. Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
13. Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum Mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

b.      Nasakh adalah Allah SWT. Artinya otoritas menghapus dan menggantikan hukum syara’ hakikatnya adalah Allah SWT. Definisi ini didasarkan pada Al-Baqoroh : 106
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
106. Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
[81] Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.

c.      رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي شرحياعنهartinya mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau khitab Allah yang datang kemudian dari padanya.

Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya Nasakh tidak lain sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu kedatangan ayat yang menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.
Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan denganالحكم المرتفع Hukum yang diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11 Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang wasiat
Al-Nisa : 11
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا [النساء/11]
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[272] Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
[273] Lebih dari dua Maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.

Al- Baqarah : 180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ [البقرة/180] 
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
[112] Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.

Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Sementara itu, Quraish Shihab menyatakan bahwa ulama-ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin tidak sepakat dalam memberikan pengertian nasikh secara terminologi. Hal ini terlihat dari kontroversi yang muncul diantara mereka dalam menetapkan adanya nasikh dalam Al-Qur’an. Ulama-ulama mutaqaddimin bahkan memperluas arti nasikh hingga mencakup :
  1. Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
  2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian.
  3. Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius.
  4. Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum terdahulu.
Dengan demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa al-Mansukh di atas baik secara bahasa maupun istilah pada dasarnya secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh mensyaratkan beberapa hal antara lain :
a.  Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah)
b.     Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’: 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا [النساء/59]
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
c.      Dalil/ayat yang di Mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus.
d.      Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua sehingga tidak bisa dikompromikan
Setelah memahami pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh diatas pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini al-Qattan memberikan rumusan bahwa Al-Nasakh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut :
a.      Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.
Contoh :
كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
b.     Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan ayat yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
c.      Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.

B. PENDAPAT ULAMA TENTANG NASIKH DAN MANSUKH
Keberadaan Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai mana yang telah diungkap dalam awal pembicaraan di atas, menunjukkan bahwa Nasakh dan Mansukh sangat penting dalam kajian hukum Islam, sebab ia bukan hanya terkait dengan aspek hukum syara’ melainkan juga tak jarang berkaitan dengan teologi. Oleh karena itu Al-Nasakh Wa al-Mansukh dalam pandangan para ulama tentunya beraneka ragam. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah
1.      Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara sam’I telah terjadi. Pendapat pertama ini merupakan pendapat dari kalangan Jumhur ulama’. Dasar hukum yang mereka pakai adalah :
 Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak prerogativeNya untuk menghapus ataupun tidak. Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
a. Dalam Qur’an surat an-Nahl : 101
وَإِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ [النحل/101] 
101. Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
b. QS. Al-Baqarah:106
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
106. Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
[81] Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
2.      Nasakh secara akal mungkin terjadi namun secara syara’ tidak. Pendapat ini di motori oleh abu Muslim al-Asfihani. Ia berpendapat Nasakh mungkin terjadi secara logika namun secara syara’ tidak. Sebab ia berpedoman pada QS. Fushilat:42
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ [فصلت/42] 
42. Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Menurut al-Asfihani, bertolak dari ayat di atas, Al-Qur’an tidak mungkin disentuh oleh pembatalan. Sudah tentu mayoritas ulama keberatan terhadap pandangan Al-Asfihani tersebut., sebab menurut mereka ayat di atas tidak bicara tentang pembatalan, tetapi kebatilan yang berarti lawan dari kebenaran. Menurut mereka, hukum Tuhan yang dibatalkan tidak mengandung keharusan bahwa hukum itu batil. Hal ini karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya ketika terdapat perkembangan dan kemaslahatan pada suatu  waktu, bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar.
3.      Nasakh tidak mungkin terjadi baik secara akal maupun pandangan. Pendapat ini berasal dari kaum Nasrani. Menurut pandangan kaum Nasrani Nasakh mengandung konsep al-Ba’da yang hal itu mustahil bagi Allah SWT. Dengan demikian adalah mustahil Allah menghapus apa yang telah di FirmankanNya.
Ulama  mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'iyang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk  ketentuan/hukumyang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama  yang  dinyatakberakhirnya  masa  pemberlakuannya,  sejauh  hukum  tersebuttidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi  juga  mencakuppengertian  pembatasan  (qaid)  bagi  suatu pengertian bebas(muthlaq).  juga  dapat  mencakup  pengertian   pengkhususan(makhasshish)  terhadap  suatu pengertian umum ('am). bahkanjuga  pengertian  pengecualian  (istitsna).  demikian   pulapengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya   ulama  mutaakhkhir  memperciut  batasan-batasanpengertian  tersebut  untuk  mempertajam  perbedaan   antaranasikh  dan  makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya,sehingga pengertian naskh  terbatas  hanya  untuk  ketentuanhukum  yang  datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakanberakhirnya   masa   pemberlakuan   ketentuan   hukum   yangterdahulu,   sehingga   ketentuan  yang  diberlakukan  ialahketentuan  yang   ditetapkan   terakhir   dan   menggantikanketentuan  yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari  satu  pengertian, dan  di  lain  pihak  -dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu pengertian. Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti,  sejauh  mana jangkauan  naskh  itu?  Apakah semua ketentuan hukum didalam syari'at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal  ini Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban  tugas  keagamaan)  sebagai  suatu  kebulatan   tidak mungkin  terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena mustahil  Allah  berdusta.  Sejalan  dengan  ini  Imam Thabari  mempertegas,  nasikh-mansukh  yang  terjadi  antara ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram,  atau sebaliknya,   itu   semua   hanya  menyangkut  perintah  dan larangan,   sedangkan    dalam    berita    tidak    terjadi nasikh-mansukh.
Ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir mengenai apa saja yang dinasakh dari ayat-ayat Al Qur’an, maupun ayat-ayat yang mansukh. Di dalam ilmu tafsir ada istilah Annasikh dan Almansukh. Annaasikh adalah ayat-ayat yang menghapus, sedangkan al Mansukh adalah ayat-ayat yang dihapus.

Kelompok pendapat pertama dari kalangan ahli tafsir (jumhur ulama) meyakini ada ayat-ayat yang menghapus (naasikh) dan ada ayat-ayat yang dihapus (mansukh), tetapi dari segi hukumnya saja, bukan  redaksi atau lafal ayat.  Jadi redaksi ayat masih tetap tidak dihapus.
Sebagai contoh pertama adalah ayat 219 Surat Al Baqarah :
Yas aluunaka ‘anil khomri wal maisir…Qul fiihima itsmun kabiirun wa maanaafi’u linnas wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa…
“ Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS Al Baqarah : 219)

Bagi kelompok yang meyakini ada nasikh mansukh dari segi hukum, ayat ini dinasikh atau dihapus hukumnya oleh S. Al Maidah ayat 90. Innamal khomru wal maisiru wal anshobu wal azlaamu rijsumin ‘amalisysyaithoon fajtanibuuhu…
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maidah : 90)
Begitu juga S. An Nisa’ ayat 43 juga di nasikh oleh ayat ini tadi.
Walaa taqrobushsholaata wa antum sukaaro. hattaa ta’lamu maa taquuluuna….
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”. (QS An Nisa’:43)

Sedangkan kelompok pendapat kedua dari kalangan ulama’meyakini ada juga ayat-ayat yang dihapus dari redaksi ayatnya. Contohnya adalah ayat tentang rajam (hukuman bagi pezina muhson). Di dalam surat AnNur tentang sangsi atau had (hukuman) bagi pezina itu Allah nyatakan AzZaaniyatu wazzaanii fajliduu kulla waahidin minhumaa mi-ata jaldah… (Pezina perempuan dan pezina laki-laki cambuklah tiap dari mereka itu seratus kali cambukan…)
Tetapi dalam hadits hukuman itu masih ada,  hanya saja redaksi ayat tentang rajam ini sudah tidak ada. Jadi sudah dihapus denganAzzaaniyatu wazzaani fajliduu dan seterusnya. Jadi Allah menggunakan kata-kata yang umum. Jadi tidak dibedakan antara pezina muhson (yang sudah kawin) atau pezina yang ghoiru muhson (pezina yang belum kawin.)

Kemudian kelompok pendapat ulama yang ketiga adalah menolak faham tentang adanya ayat nasikh dan mansukh. Contohnyaimam Abu Muslim Al Isfihani. Ia berpendapat tidak mungkin di dalam Al Qur’an ada nasikh dan mansukh. Apalagi nasikh mansukh yang berkaitan dengan redaksi. Jadi menurut beliau istilahnya bukan nasikh mansukh, tetapi hanya pengecualian atau ketentuan lain. Sedangkan redaksinya tetap.  Jadi (misalnya) kalau kita ingin membina atau mengingatkan orang-orang yang mabuk tadi ada istilah tadrij. Jadi redaksi maupun hukumnya tidak dimansukh, tetapi tetap dan memang harus demikian. Itu merupakan teknik atau sistim tadrij yang dipakai  Al Qur’an untuk mengingatkan manusia. . Baik itu hukumnya maupun redaksinya tidak dihapus, hanya itu merupakan pengecualian atau pengkhususan …Atau itu sebenarnya merupakan suatu teknik tadrij .
Sebagai contoh untuk mencegah orang yang minum minuman keras tidak mungkin dihentikan sekaligus, tetapi melalui tiga tahapan tadi. Istilahnya tadrij dari sedikit demi sedikit. Pertama penyadaran dulu dengan diajak berpikir : Yas aluunaka ‘anil khomri wal maisir…Qul fiihima itsmun kabiirun wa maanaafi’u linnas wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa… Dalam mengajak berpikir ini sudah diarahkan. Jadi ini obyektif: O, memang khomr itu minuman keras ada manfaatnya, juga ada madhorotnya. O, manfaatnya memanaskan badan, tetapi ada madhorotnya: merusak hati, pikiran, dan sebagainya. Dalam mengajak berpikir tersebut sudah diarahkan:    wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa… Dan dosa atau madhorotnya lebih besar dibandingkan manfaatnya.  Setelah itu tahap kedua:  Walaa taqrobushsholaata wa antum sukaaro hattaa ta’lamu maa taquuluuna…. janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,  Ketika ayat ini turun orang masih boleh minum khomr, tetapi diingatkan : jangan menjalankan sholat !  Kemudian baru tahap yang ketiga, secara tegas dinyatakan keharomannya dalam Surat Al Maidah ayat 90:  Innamal khomru wal maisiru wal anshoobu wal azlaamu rijsumin ‘amalisysyaithoon fajtanibuuhu… Jadi ini merupakan suatu teknik tadrij, sebagaimana dipahami Abu Muslim al Isfihani tadi bahwa tidak ada nasikh mansukh, apalagi redaksinya.       Kalau ada ayat yang turun dianggap sebagai nasikh, maka menurut al Isfihani itu adalah ayat yang berfungsi untuk memberi pengecualian atau pengkhususan atau sebagai teknik tadrij, yakni dalam menyelesaikan permasalahan tidak melarang sekaligus, tetapi melalui tahapan seperti contoh masalah khomr tadi.
Sedangkan pendapat yang keempat adalah sebagaimana pemahaman Imam al Alusi yang meyakini bahwa ayat yang dihapus atau Nabi dilupakan itu bukanlah ayat-ayat Qur’aniyah (Al Qur’an), melainkan ayat-ayat Qolbiyah atau Kauniyah.

Bentuk-bentuk nasikh dalam Al-Qur’an :
  1. Nasakh syarih yaitu ayat-ayat yang secara tegas menghapuskan hukum ang terdapat dalam ayat terdahulu. Misalnay surat Al-Anfal :65-66, Ayat tentang perang yang mengharuskanperbandingan antara muslim dan kafir adalah : 1:10 dinasakh dan ayat yang mengharuskan hanya 1:2 dalam masalah yang sama. Sebagai mana firman Allah yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ (65) الْآَنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (66) [الأنفال/65، 66] 
“Hai Nabi, kabarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang, jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaa mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti (65). Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui ada kelemahan pada dirimu. maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar niscaya mereka mengalahkan dua ratus orang dan jika ada diantaramu seribu (orang yang sabar), niscaa mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Qs. Al-Anfal : 65-66).
  1. Nasakh dhimni yaitu bila ada ketentuan hukum ayat yang terdahulu tidak bisa dikompromikan dengan ketentuan hukum ayat yang datang kemudian, ia menasakh ayat yang terdahulu. Misalnya, ayat tentang wasiat kepada ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.
  2. Nasakh kulli yaitu masalah hukum yang datang kemudian ia menasakh hukum yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalna ketentuan hukum iddah satu tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang dinasakh dengan iddah 4 bulan 10 hari. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-baqarah : 240 dinusakh oleh surat Al-Baqoroh : 234
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [البقرة/240] 
240. Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ [البقرة/234]
234. Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
[147] Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan.
  1. Nasakh juz’i yaitu menasakh hukum yang mencakup seluruh individu dengan hukum yang mencakup sebagian individu atau menasakh hukum yang bersifat mutlak dengan hukum yang bersifat muqayyad (terbatas). Contohnya hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya  saksi pada surat An-Nur : 4 dihapus oleh ketentuan li’an yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, bagi si penuduh pada ayat 6 dalam surat yang sama.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [النور/4] 
4. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
[1029] Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan muslimah.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ [النور/6] 
6. Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
C. PENGERTIAN TAKHSHISH
Al-Asfihani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Kalaupun di dalam Al-Qur’an itu terdapat cakupan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pengkhususan (takhshish). Dengan demikian, takhshish menurutnya dapat diartikan sebagai “mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafazh ‘amm.”

Bertolak dari pengertian nasikh dan takhshish tersebut di atas, maka perbedaan prinsipil antara keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut :
NASIKH
TAKHSHISH
  1. Satuan yang terdapat dalam nasikh bukan merupakan bagian satuan yang terdapat dalam mansukh.
  2. Nasikh adalah menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
  3. Nasikh hanya terjadi dengan dalil yang dating kemudian.

  1. Nasikh menghapuskan hubungan mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas.

  1. Setelah terjadi nasikh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hukum yang terdapat dalam mansukh.
  1. Satuan yang terdapat dalam takhshish merupakan bagian dari satuan yang terdapat dalam lafazh ‘amm.
  2. Takhshish merupakan hukum dari sebsgian satuan yang tercakup dalam dalil ‘amm.

  1. Takhshish dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.
  2. Takhshish tidak menghapuskan hukum ‘amm sama sekali. Hukum ‘amm tetap berlaku meskipun sudah dikhususkan.
  3. Setelah terjadi takhshish, sisa satuan yang terdapat pada ‘amm tetap terikat oleh dalil ‘amm.

a.      Tampaknya, nasakh itu seolah-olah sama seperti takhshis, karena sama-sama membatasi suatu ketentuan hukum dengan batasan waktu, sedang takhshis dengan batasan materi.
Misalnya, dalam cdontoh penghapusan kewajiban berdekah sebelum menghadap rasul. Seolah-olah masalah disitu hanya pembatasan ketentuan itu dengan waktu saja, sehingga sepertinya dapat diungkapkan sebagai berikut:
“kalau akan menghadapa rasul itu, harus memberikan sedekah lebih dahulu, kecuali setelah turun ayat yang meniadakan kewajiban itu”.
Ungkapan itu sepertinya hampir sama dengan kalimat:
“wanita yang ditalak suaminya itu wajib beribadah tiga kali suci, kecuali bagi wanita yang ditalak sebelum dikumpuli”. Oleh karana itu tampak adanya kesamaan antara keduanya itu sah, maka ada perbedaan paham diantara para ulama’. Ada sebagian ulama’ yang mengakui ada dan terjadinya nasakh itu, dan ada pula yan mengingkarinya, dan menganggap nasakh itu sama saja dengan takhshis itu.
b.      Nasakh sama dengan takhshis dalam hal sama sama membatasi berlakunya suatu ketentuan hukum syara’. Nasakh mengahapus dan mengganti ketentuan hukum-hukum syara’ sedang takhshis membatasi keumuman jangkauan hukum syara’.
c.      Dalil yang menasikh sama dengan dalil yang menakhshis, yaitu sama sama berupa dalil syara’.
D. URGENSI MEMPELAJARI KONSEP NASIKH MANSUKH
Adanya nasikh-mansukh  tidak  dapat  dipisahkan  dari  sifat turunnya   al-Qur'an  itu  sendiri  dan  tujuan  yang  ingin dicapainya. Turunnya  Kitab  Suci  al-Qur'an  tidak  terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu,  lalu  Qur'an sendiri  menjawab,  pentahapan  itu  untuk  pemantapan, [17] khususnya di bidang hukum. Dalam  hal  ini  Syekh  al-Qasimi berkata,  sesungguhnya  al-Khalik  Yang  Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama  23  tahun  dalam  proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu  mulanya bersifat  kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat  universal.  Demikianlah Sunnah   al-Khaliq   diberlakukan  terhadap  perorangan  dan bangsa-bangsa   dengan   sama.   Jika   engkau   melayangkan pandanganmu  ke  alam  yang  hidup  ini,  engkau  pasti akan mengetahui bahwa naskh  (penghapusan)  adalah  undang-undang alami   yang   lazim,  baik  dalam  bidang  material  maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari  unsur-unsur sperma  dan  telur  kemudian  menjadi  janin,  lalu  berubah menjadi  anak,  kemudian  tumbuh  menjadi  remaja,   dewasa, kemudian  orang  tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam  ini  selalu berjalan  proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari  terjadinya, mengapa  kita  mempersoalkan  adanya  penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke  yang  lebih tinggi?  Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung  membenahi  bangsa  Arab  yang masih  dalam  proses  permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah  mencapai  kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka  bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan  hukum,  memberikan  beban  kepada suatu  bangsa  yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan  melainkan  oleh  suatu bangsa  yang  telah  menaiki  jenjang  kedewasaannya?  Lalu, manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita  yang  menurut sunnah  Allah  ditentukan  hukum-hukumnya  sendiri, kemudian di-nasakh-kan  karena  dipandang  perlu  atau  disempurnakan hal-hal  yang  dipandang  tidak  mampu  dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan? Ataukah  syari'at-syari'at  agama lain  yang  diubah  sendiri  oleh  para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali?
Syari'at Allah adalah perwujudan  dari  rahmat-Nya.  Dia-lah yang  Maha  Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup  tertib  dan adil  untuk  mencapai  kehidupan  yang  aman,  sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
 
Hikmah nasikh :
  1. Untuk menunjukkan bahwa syariat islam adalah syariat yang paling sempurna.
  2. Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan disepanjang zaman.
  3. Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ketingkat yang sempurna.
  4. Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamlkan hukum-hukm allah, atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang.
  5. Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah kepada yang sukar.
  6. Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi ummat islam, sebab dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati kebijakansanaan dan kemurahan allah swt. Yang maha pengasih lagi maha penyayang.
BAB III
PENUTUP
Naskh adalah hal yang diperbolehkan keberadaannya dalam agama Islam. Hal ini sesuai dengan dalil yang telah datang dari Alqur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
1.    Demi menjaga kemashlahatan hamba-Nya, Allah telah menghapus sebagian hukum dalam syari’at Islam. Bila ternyata hukum penggantinya itu lebih ringan, maka itu adalah kemudahan yang diberikan oleh Allah di dunia ini secara langsung, namun apabila ternyata penggantinya lebih berat, maka tidak lain hal ini akan melipat gandakan pahala pelaksananya sebagai balasan atas ketaatannya pada aturan Allah Ta’ala.
2.    Bahwa Allah Ta’ala adalah raja segala raja yang hanya Dia-lah yang berkuasa membuat peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Maka dari itu hendaknya kita selalu tunduk pada aturan-aturan yang datang dari-Nya, yang berupa perintah maupun larangan.

Makalah Ulumul Quran: Asbabun Nuzul

Makalah ulumul Quran: Asbabun Nuzul
BAB I
PENDAHULUAN
            Seruan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah sejak lama telah berkumandang di indonesia. Al-Qur’an memang sumber pertama dan utama bagi ajaran islam. Al-Qur’an adalah pedoman hidup bagi umat baik menyangkut kehidupan dunia maupun akhirat.
            Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab, karena itu, ada anggapan bahwa setiap orang yang mengerti bahasa arab, mengerti isi Al-Qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dengan bantuan terjemahannya sekalipun ia tidak mengerti bahasa arab. Anggapan seperti ini sebenarnya keliru, sebab banyak orang yang mengerti bahasa arab tapi tidak mengerti isi Al-Qur’an.
            Kekeliruan dalam penafsiran ayat-ayat Al-qur’an tentunya tidak akan terjadi bila orang yang memahaminya mengetahui tentang asbab al-nuzul.
             Nah, di dalam bab ini akan memaparkan pengertian Sabab Al-Nuzul, pembagian dan macam-macamnya, ungkapan-ungkapan Sabab Al-Nuzul, kepentingan dan kegunaan mempelajarinya, dan persoalan keumuman lafal dan kekhususan sebab.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian asbab al-nuzul
Sabab Al-Nuzul secara bahasa berarti sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan Allah SWT kepada Muhammad SAW secara berangsur-angsur dalam masa lebih kurang 23 tahun. Al-Qur’an diturunkan untuk memperbaiki akidah, ibadah, akhlak, dan pergaulan manusia yang sudah menyimpang dari kebenaran. Karena itu, dapat dikatakan bahwa terjadinya penyimpangan dan rusakan dalam tata sila kehidupan manusia merupakan sebab turunnya Al-Qur’an. Ini adalah sebab umum bagi turunnya Al-Qur’an. Hal ini tidak termasuk dalam pembahasan yang hendak dibicarakan. Sabab Al-Nuzul atau asbab al-nuzul(sebab-sebab turunnya ayat) disini dimaksudkan sebab-sebab yang secara khusus berkaitan dengan turunya ayat-ayat tertentu. Shubhi al-salih memberikan definisi Sabab Al-Nuzul sebagai berikut:


“sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandungsebab itu, atau memberi jawaban terhada sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut”.
Definisi ini memberikan pengertian bahwa sebab turun suatu ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya bebentuk pertanyaan. Suatu ayat atau beberapa ayat turun untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu.
Sebab-sebab turunya ayat dalam bentuk peristiwa ada tiga macam,yaitu:
1.      Peristiwa berupa pertengkaran.
2.      Peristiwa berupa kesalahan yang serius.
3.      Peristiwa berupa cita-cita dan keinginan.
Adapun sebab-sebab turun ayat dalam bentuk pertanyaan dapat dikelompokkan kepada tiga macam:
1.      Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang telah lalu, seperti ayat:

“mereka bertanya kepadamu tentang zul karnain”
2.      Petanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada waktu itu, seperti ayat:




“ Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah bahwa ruh itu urusan Tuhanku, dan kamu tidak diberi ilmu ,kecuali imu yang sedikit”
3.      Pertanyaan yang berhubungan dengan masa yang akan datang, seperti ayat:


“ mereka bertanya kepadamu tentng kiamat, “bila terjadinya?”
Kata-kata                                berarti kondisi dimana Al-Qur’an diturunkan untuk menceritakan sebab tersebut. Sama saja halnya ayat itu turun mengiringi sebab itu langsung atau turun terkemudian  sedikit dari sebab tersebut karena ada hikmah tertentu. [1]


Kemudian, kata                                   dalam definisi diatas merupakan pembatasan yang harus ada untuk membedakannya dari ayat-ayat yang turun tanpa sebab. Sekalipun ayat-ayat itu berbicara tentang peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan yang terjadi dimasa lalu atau yang akan datang. Seperti sebagian kisah para nabi dan bangsa-bangsa terdahulu dan pembicaraan tentang hari kiamat itu bukan sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Sebab, ayat-ayat tersebut diturunkan untuk menjadi pelajaran dan cermin pebandingan bagi umat yang membaca atau mendengarnya, dan bukan diturunkan sehubungan dengan peristiwa itu berlangsung atau pertanyaan yang sedang dihadapi      Rasul SAW.
Definisi Sabab Al-Nuzul yang di kemukakan diatas membawa kepada pembagian ayat-ayat Al-Qur’an kepada dua kelompok. Pertama kelompok yang turun tanpa sebab , dan kedua kelompok yang turun dengan sebab tertentu. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tidak semua ayat harus mempunyai sebab turunnya. Bahkan banyak ayat yang menyangkut keimanan, kewajiban,dan syariat agama turun tanpa Sabab Al-Nuzul.
 Ayat-ayat Al-Qur’an tidak selamanya turun ketika nabi berada dalam mesjid dan diwaktu siang hari. Al-Qur’an bisa turun ketika Nabi berada dimadinah, di Makkah, Arafah, dalam perjalanan ,diwaktu siang maupun malam hari. Tentunya para sahabat tidak mungkin mengikuti Nabi setiap waktu,karena mereka juga memiliki kesibukan lain, baik dalam penyiaran dakwah dan jihad maupun dalam memenuhi kepentingan mereka dan keluarganya sendiri.
Memang dimaklumi bahwa para sahabat mempunyai semangat yang tinggi untuk mengikuti perjalanan turunnya Wahyu. Intensitas keimanan yang tinggi dan kecintaan kepada Nabi telah mendorong mereka untuk memberikan perhatian maksimal kepada apa yang dibawa Nabi,

 sehingga mereka bukan saja berupaya menghapal ayat-ayat Al-Qur’an dan hal-hal yang berhubungan dengan nya ,tetapi mereka juga melestarikan sunnah Nabi, karena itu, segala apa yang diketahui tentang sebab-sebab turunnya Al-Qur’an diperoleh melalui mereka. Berdasarkan keimanan, ketakwaan mereka keterangan mereka sebagai sahabat tentang asbab al-nuzul diterima. Para  ulama salaf sangat behati-hati dalam menerima dan meriwayatkan asbab al-nuzul, akan tetapi  kehati-hatian semacam ini tidak sampai menghalangi mereka untuk menerima riwayat sahabat dalam Sabab Al-Nuzul.
Sejalan dengan itu Al-hakim menjelaskan dalam ilmu hadits, bahwa apabila seorang sahabat yang menyaksikan masa wahyu dan Al-Qur’an diturunkan, meriwayatkan tentang suatu ayat Al-Qur’an bahwa ayat tersebut turun tentang suatu(kejadian), maka hadits itu dipandang hadits musnad .
Berdasarkan keterangan diatas, maka Sabab Al-Nuzul yang diriwayatkan dari seorang sahabat diterima sekalipun tidak diperkuat dan didukung oleh riwayat yang lain.
Dengan demikian para ulama menetapkan bahwa tidak ada jalan yang untuk mengetahui asbab al-nuzul, kecuali melalui suatu riwayat yang sahih. Mereka tidak dapat menerima hasil nalar dan ijtihad dalam masalah ini. Namun, tampaknya pandangan mereka ini tidak selamanya berlaku secara mutlak. Jika ditinjau secara lebih kritis, masih ditemukan celah sebagai jalan masuk ijtihad dalam masalah ini,meskipun dalam porsi yang terbatas. Asbab al-nuzul dari suatu ayat tidak selamanya datang dari satu riwayat. Tidak jarang riwayat-riwayat asbab al-nuzul bagi ayat tertentu berbeda-beda, yang terkadang memerlukan tarjih(mengambil riwayat yang lebih kuat). Untuk melakukan tarjih inilah diperlukan analis dan ijtihad. [2]


B.     Pembagian dan macam-macam Sabab Al-Nuzul
Sabab Al-Nuzul bisa ditinjau dari berbagai aspek.
1.      Ditinjau dari aspek bentuknyaSabab Al-Nuzul dapat dibagi kepada dua bentuk, seperti yang telah diterangkan pada awal bab ini. Yang pertama berbentuk peristiwa, dan yang kedua berbentuk pertanyaan.
2.      Ditinjau dari segi jumlah sebab ayat yang turun.
a.      Ta’adud al-asbab wa al nazil wahid(sebab turunnya lebih dari satu dan inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun satu).
b.      Ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid(inti persoalanyang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari satu,sedang sebab turunnya satu).
       Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat dan masing-masing meyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka kedua riwayat ini diteliti dan dianalisis.
Dalam hal tersebut Permasalahannya ada empat bentuk:
1.      Salah satu dari keduanya sahih dan lainnya tidak.  Diselsaikan dengan jalan memegang riwayat yang sahih dan menolak yang tidak sahih.
2.      Keduanya sahih, akan tetapi salah satunya mempunyai penguat(murajjih) dan lainnya tidak.Diselesaikan dengan cara mengambil yang kuat. Penguat itu ada kalanya salah satunya lebih sahih dari yang lainnya atau periwayat salah satunya menyaksikan peristiwa itu secara langsung sedangkan yang lainnya tidak demikian.
3.      Keduanya sahih dan keduanya sama-sama tidak mempunyai penguat , akan tetapi keduanya dapat diambil sekaligus.kedua sebab itu benar terjadi dan ayat turun mengiringi peristiwa tersebut karena masa keduanya berhampiran. Penyelesaiannya adalah dengan menganggap terjadinya beberapa sebab bagi turunnya ayat tersebut.
4.      Keduanya sahih , tidak mempunyai penguat ,dan tidak mungkin mengambil keduanya sekaligus karena waktu peristiwanya jauh berbeda. Penyelesaiannya masalah ini adalah dengan menganggap berulang-ulangnya ayat itu turun sebagai asbab al-nuzulnya.
       Inilah empat bentuk permasalahan dan pemecahannya ketika terjadi ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid, yaitu riwayat tentang sebab turun ayat lebih dari satu  riwayat sedang ayat yang turun satu atau beberapa ayat yang turun serempak. Adapun jika sebaliknya, yaitu ta’addud al nazil wa al-sabab wahid (ayat yang turun bebeda dan sebab nya tunggal atau sama) , maka hal yang demikian tidak menjadi masalah. Hal demikian tidak bertentangan dengan hikmah untuk meyakinkan manusia dan menjelaskan kebenaran. Bahkan cara yang demikian lebih efektif.
C.    Ungkapan-ungkapan Sabab Al-Nuzul
      Ungkapan-ungkapan yang digunakan para sahabat untuk menunjukkan sebab turunnya Al-Qur’an tidak selamanya sama. Ungkapan-ungkapan itu beberapa bentuk sebagai berikut:
1.      Sabab Al-Nuzul disebutkan dengan ungkapan yang jelas.
2.      Sabab Al-Nuzul tidak ditunjukkan dengan lafal sabab, tetapi dengan mendatangkan lafal              yang masuk kepada ayat dimaksud secara langsung setelah pemaparan-pemaparan suatu peritiwa atau kejadian.
3.      Sabab Al-Nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya dan jalan ceritanya.
4.      Sabab Al-Nuzul tidak disebutkan dengan ungkapan sebab secara jelas, tidak mendatangkan            yang menunjukkan sebab, dan bukan pula jawaban yang dibangun atas dasar pertanyaan. Akan tetapi, dikatakan:                                                                                             ungkapan seperti ini tidak secara definitif menujukkan sebab dan makna lainnya yaitu hukum kasus atau persoalan yang sedang dihadapi. [3]

D.    Kepentingan dan kegunaan mempelajari Sabab Al-Nuzul
      Mempelajari dan mengetahui Sabab Al-Nuzul adalah sangat penting, terutama dalam memahami ayat-ayat yang menyangkut hukum. Para ulama telah menulis beberapa kitab khusus tentang sebab-sebab turunnya Al-Qur’an dan menekankan pentingnya mengetahui asbab al-nuzul.
      Al-Wahidi(w. 427 H) berkata: “ tidak mungkin kita mengetahui penafsiran ayat Al-Qur’an tanpa mengetahui sebab turunnya. Ibn Daqiq al-id(w. 702 H) berkata: ”menjelaskan sebab turunnya ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami makna Al-Qur’an. Ibn Taimimah(w. 726 H) berkata: “mengetahui sebab turunnya ayat membantu untuk memahami ayat Al-Qur’an. Sebab, pengetahuan tentang sebab akan membawa kepada tentang yang disebabkan (akibat).
       Sebagai contoh tentang bahaya menafsirkan ayat al-Qur’an tanpa mengetahui sebab turunnya ialah penafsiran Utsman ibn Maz’un dan Amr ibn Ma’addi kariba terhadap ayat:
    


“tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertaqwa serta beriman dan beramal salih...”(QS, Al-Maidah (5): 93)
       Mereka membolehkan meminum khamar berdasarkan ayat ini. Al-Suyuthi berkomentar bahwa sekiranya mereka mengetahui sebab turun ayat ini, tentunya mereka tidak akan mengatakan demikian. Sebab, ahmad Al-nasai, dan lainnya meriwayatkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah orang-orang yang ketika khamar diharamkan, mempertanyakan nasib kaum muslimin yang terbunuh dijalan Allah sedang mereka dahulunya meminum khamar.
     Dari contoh yang telah dikemukakan ini dapat dipahami betapa bahayanya memahami Al-Qur’an tanpa mengetahui sebab turunnya. Namun demikian sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tidak semua ayat Al-Qur’an harus mempunyai sebab turun. Ayat-ayat yang mempunyai sebab turun juga tidak semua nya harus diketahui sehingga tanpa mengetahuinya ayat tersebut tidak bisa dipahami.   
     Secara terinci, Al-Zarqani menyebutkan tujuh macam diantara kegunaan atau faida, mengetahui Asbab Al-Nuzul:
1.      Pengetahuan tentang Sabab Al-Nuzul membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus mensyari’atkan Agama-Nya melalui Al-Qur’an.
2.      Pengetahuan tentang asbab al-nuzul membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya.
3.      Pengetahuan tentang Sabab Al-Nuzul dapat menolak dugaan adanya pembatasan dalam ayat yang menurut lahirnya mengandung pembatasan.
4.      Pengetahuan tentang Sabab Al-Nuzul dapat mengkhususkan hukum pada sebab menurut ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.
5.      Dengan mempelajari Sabab Al-Nuzul diketahui pula sebab turunnya ayat tidak pernah keluar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang yang mengkhususkannya.
6.      Dengan Sabab Al-Nuzul, diketahui orang yang ayat tertentu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran.
7.      Pengetahuan tentang Sabab Al-Nuzul akan mempermudah orang menghapal ayat-ayat Al-Qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika ia mengetahui sebab turunnya.
            Dari tujuh macam kegunaan pengetahuan tentang Sabab Al-Nuzul yang telah dikemukakan diatas, setidaknya lima diantaranya mempunyai hubungan yang erat dengan kepentingan menafsirkan Al-Quran.

E.     Keumuman lafal dan kekhususan sebab
      Keumuman lafal dan kekhususan sebab berarti bahwa jawaban lebih umum dari sebab, dan sebab lebih khusus dari jawaban. Jawaban yang yang dimaksudkan disini adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang turun sebagai jawaban terhadap peristiwa yang dihadapi Nabi pada masa turunnya Al-Qur’an. Sedang ‘sebab’ berarti pertanyaan atau peristiwa yang menjadi sebab turunnya Al-Qur’an.
Jika terjadi persesuaian antara ayat yang turun dan sebab  turunnya dalam hal keumuman keduanya, atau terjadi persesuaian antara keduanya dalam hal kekhususan keduanya, diterapkanlah yang umum menurut keumumannya, dan yang khusus menurut kekhususannya.
Adapun jika ayat yang turun bersifat umum dan sebabnya bersifat khusus, maka timbul persoalan dalam hal apakah yang harus dijadikan pedoman, keumuman lafalnya, atau kekhususan sebabnya. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Mayoritas para ulama berpegang pada kaidah “Yang harus diperhatikan keumuman lafal, bukan kekhususan sebab” . sedangkan minoritas ulama bepegang pada kaidah sebaliknya, “Yang harus diperhatikan kekhususan sebab, bukan keumuman lafal.  Memang terlihat jelas perbedaan pendapat antara dua kelompok ulama dan masing-masing memiliki argument untuk memperkuat pendiriannya. Namun demikian, ada dua hal yang yang perlu diingat. Pertama, perbedaan pendapat ini berlaku pada lafal ayat yang umum. Dan yang kedua hukum nash yang umum dan turun atas sebab tertentu. [4]




BAB III
PENUTUP
kesimpulan
     Sabab Al-Nuzul secara bahasa berarti sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan Allah SWT kepada Muhammad SAW secara berangsur-angsur dalam masa lebih kurang 23 tahun, Sabab Al-Nuzuldapat ditinjau dari aspek bentuk dan sebab ayat tersebut turun,Sabab Al-Nuzul sangat penting, terutama dalam memahami ayat-ayat yang menyangkut hukum. Dan tidak mungkin kita mengetahui penafsiran ayat Al-Qur’an tanpa mengetahui sebab turunnya.

Saran
Dengan disusunnya makalah ulumul Qur’an tentang asbabun Nuzul ini, penulis mengharapkan pembaca dapat mengetahui kajian ulumul Qur’an ,Untuk mengetahui lebuh jauh, lebih banyak, dan lebih lengkap tentang pembahasan asbabun nuzul, pembaca dapat membaca dan mempelajari buku-buku dari berbagai pengarang, karena penulis hanya membahas garis besar saja tentang ulumul Qur’an dan hanya membahas lebih dalam tentang asbabun nuzul.
         Disini penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun untuk penulisan makalah-makalah selanjutnya sangat diharapkan.






Daftar pustaka
1.     Al-Qur’an dan hadits
2.     Abdul wahid, ramli ,1992, ulumul Qur’an ,jakarta;CV. Rajawali.




[1] Ramli abdul wahid,ulumul Qur’an,1992,hal:30
[2] Ramli abdul wahid, ibid, 35-37
[3] Ibid, hal.46