Sunday, October 18, 2015

Makalah hadits tarbawi: Halal, Haram, dan Syubhat

HALAL, HARAM, DAN SYUBHAT


عَنْ اَبـِيْ عَبْدِ اللهِ النـُّـعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنـْهُمَا قـَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلـَّى اللهُ عَلـَيْهِ وَسَلـَّمَ يَقـُوْلُ: اِنَّ الـْـحَلاَلَ بَيِّنٌ وَاِنَّ الـْـحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنـَهُمَا اُمُوْرٌ مُتـَشَابـِهَاتٌ لاَ يَعْلـَمُهُنَّ كـَثِيْرٌ مِنَ النـَّاسِ فـَمَنِ اتـَّقـَى الشُّبُهَاتِ فـَقـَدِ اسْتـَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقـَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقـَعَ فِي الـْـحَرَامِ كـَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الـْـحِمَى يُوْشِكُ اَنْ يَرْتـَعَ فِيْهِ اَلاَ وَاِنَّ لِكـُلِّ مَلِكٍ حِمَى اَلاَ وَاِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ اَلاَ وَاِنَّ فِيْ الـْجَسَدِ مُضْغـَة ً اِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الـْجَسَدُ كـُلـُّهُ وَاِذَا فـَسَدَتْ فـَسَدَ الـْجَسَدُ كـُلـُّهُ اَلاَ وَهِيَ الـْقـَلـْبُ
(رواه البخارى ومسلم)
Dari Abi Abdillah An-Nu’man bin Basyir -rodhiyallohu ‘anhu- berkata, aku telah mendengar Rosululloh -Shollallohu ‘Alaihi Wasallam- bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang halal itu jelas dan sesungguhnya sesuatu yang haram itu jelas. Sedangkan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar  yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa menjaga dirinya dari perkara yang samar-samar, berarti ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa melakukan perkara yang samar-samar maka ia telah jatuh dalam perkara yang haram seperti menggembala di sekeliling tanah larangan (halaman orang lain) maka lambat laun ia akan masuk ke dalamnya. Ingatlah bahwa tiap-tiap raja ada larangannya. Larangan Allah ialah yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak, rusaklah seluruh jasadnya. Ingatlah daging itu adalah hati.” (H.R. Bukhari dan Muslim)


A. Sumber Hadits
1. Abu Abdillah Nu’man bin Basyir
Perawinya adalah Abu Abdillah Nu’man bin Basyir Al Madani adalah seorang shahabat dari kalangan Anshar. Kuniyah beliau Abu Abdillah. Bapak beliau adalah seorang shahabat yang mulia bernama Basyir bin Sa’ad bin Tsa’labah bin Julas bin Za’id Al Anshori Al Khazraji, dari kalangan suku khazraj, salah satu suku terkenal di Madinah.
Bapaknyalah yang memperkenalkannya kepada Rasulullah SAW. Ketika kelahirannya, Nu’man bin Basyir dibawa kepada Rasulullah SAW untuk didoakan. Lalu Rasulullah SAW dan mengkhabarkan bahwa anak itu (Nu’man bin Basyir) akan seperti bapaknya menjadi shahabat yang mulia dan akhir hidupnya juga akan sama, yaitu meninggal karena dibunuh. Pada akhirnya Nu’man bin Basyir memang meninggal karena dibunuh oleh seorang munafik dari Hims (Damaskus). Khabar ini adalah khabar gaib dari Allah SWT dan apa yang dikhabarkan beliau SAW akan terbukti.
Jadi merupakan suatu sunnah untuk membawa seorang bayi yang baru lahir kepada orang yang shaleh untuk didoakan dan ditahnik atau kalau bisa juga untuk diberi nama. Hal ini bukan hanya khususiyah bagi Rasulullah SAW saja, karena sesudah wafatnya Rasulullah SAW, para shahabat juga mendatangi Abu Bakar untuk meminta beliau mendoakan anaknya dan ini berlanjut terus sampai tabiin.
Ibu dari Nu’man bin Basyir adalah seorang shahabiyah yang bernama ‘Amrah bintu Rawahah رضى الله عنها , saudara perempuan dari shahabat yang mulia Abdullah bin Rawahah (salah seorang penyair Rasulullah SAW dan pemimpin perang Mu’tah). Nu’man bin Basyir adalah keponakan dari Abdullah bin Rawahah dari sisi ibunya. Jadi beliau hidup dan belajar dari kalangan para shahabat sehingga beliau menjadi seorang yang shaleh dan shahabat yang mulia.
Diikhtilafkan oleh para Ulama tentang Nu’man bin Basyir, apakah beliau pernah mendengar langsung dari Rasulullah SAW atau hadits-haditsnya hanya murshal shahabi saja (menukil dari shahabat-shahabat yang lain)?, karena ada juga shahabat yang tidak mendengarkan langsung hadits dari Rasulullah SAW tetapi hanya menukil dari shahabat yang lain yang mendengarkan sabda Rasulullah SAW. Ahlul Madinah (ulama-ulama dari kalangan Madinah) banyak yang mengatakan bahwa Nu’man bin Basyir tidak pernah mendengarkan langsung dari Rasulullah SAW, namun Ahlul Kufah mengatakan bahwa Nu’man bin Basyir pernah mendengarkan langsung, dan hadits yang pernah didengarkan beliau langsung dari Rasulullah SAW adalah hadits ini. Karena beliau mengatakan “ سمعت “ (saya mendengarkan), dan kalau seorang shahabat mengatakan “ سمعت “ berarti dia mendengarkan langsung. Kalau dia mengatakan “ عن “ (dari), berarti ada kemungkinan lewat perantara, tapi kalau sudah mengatakan “ سمعت “ itu menunjukkan bahwa dia mendengarkan langsung. Jadi pendapat yang benar adalah pendapat Ahli Kufah. Dalam riwayat Imam Muslim رحمه الله , beliau menegaskan bahkan mengisyaratkan بأصبعيه إلى أذنيه (beliau mengisyaratkan dengan telunjuknya menunjuk kepada kedua telinganya) ketika beliau berkata سمعت (maknanya saya mendengarkan langsung dan tidak lewat perantara).
Di sini ada sebuah hukum dalam masalah Ilmu Hadits, bahwa orang yang mendengarkan hadits dalam usia yang muda itu diterima haditsnya walaupun dia belum baligh tapi dengan syarat dia menyampaikan hadits tersebut ketika dia sudah baligh. Karena ketika Rasulullah SAW wafat, umur beliau (Nu’man) baru 8 tahun (belum baligh). Berarti ketika mendengar hadits ini, beliau juga belum baligh tapi haditsnya dapat diterima selama dia mumayyiz (dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk dan antara yang benar dan yang salah) tapi dengan syarat dia sampaikan ketika dia sudah baligh. Sama dengan masalah, tidak mengapa menerima hadits dari seorang yang waktu mendengarkan hadits masih dalam keadaan kafir dengan syarat dia menyampaikan hadits itu ketika dia sudah masuk islam. Sebaliknya jika ada yang mendengarkan hadits ketika ia masih seorang muslim, tapi dia menyampaikan hadits itu ketika dia sudah kafir (murtad), maka haditsnya itu tidak diterima/ditolak. Ini salah satu masalah dalam Ilmu Mustholah bahwa “ تَحَمُّل “, menerima hadits orang yang masih muda dengan syarat dia menyampaikan ketika sudah baligh, seperti Nu’man bin Basyir.
Diantara keutamaan dari Nu’man bin Basyir adalah: pada masa Muawiyah, beliau dipilih menjadi Amir di Kufah dan setelah kurang lebih 9 bulan di Kufah beliau dipindahkan ke Hims (Damaskus) sebagai Qadhi di Hims. Ada sedikit ikhtilaf dikalangan ulama, apakah hadits ini pertama kali beliau sebutkan ketika beliau berada di Kufah atau setelah beliau berada di Hims. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa beliau berkhutbah dengan hadits ini ketika menjabat Amir di Kufah, tapi dalam riwayat lain dikatakan bahwa beliau berkhutbah dengan hadits ini ketika di Hims. Kata Ibnu Hajar Asqalani رحمه الله : “tidak ada masalah, boleh saja beliau berkhutbah dua kali dengan hadits ini yaitu beliau sudah pernah berkhutbah dengan hadits ini ketika beliau masih Amir di Kufah dan juga berkhutbah dengan hadits ini ketika telah menjadi Qadhi di Hims”. Beliau juga terkenal sebagai khotib yang bari’, ahli khutbah yang mempunyai balaghoh (keindahan bahasa dalam berkhutbah dan ahli retorika). Beliau adalah shahabat yang pertama kali lahir dikalangan Anshar setelah hijrah Nabi (sekitar 14 bulan setelah hijrah). Adapun shahabat dari kalangan Muhajirin yang pertama kali lahir setelah hijrah adalah Abdullah bin Zubair. Abdullah bin Zubair mengatakan bahwa Nu’man bin Basyir lebih tua 6 bulan darinya.
Nu’man bin Basyir wafat pada tahun 60 H. Pendapat lain mengatakan tahun 62 H dan ada juga tahun 64 H, setelah menghindari fitnah Yazid bin Muawiyah tentang masalah Abdullah bin Zubair. Beliau menghindari fitnah tersebut tetapi dibuntuti oleh seorang munafik yaitu Khalid bin Khaly Al Khulai dari Dimasyq dan dialah yang membunuh shahabat yang mulia Nu’man bin Basyir (sebagaimana yang pernah dikhabarkan oleh Rasulullah).
2. Imam Bukhari
Imam Bukhari adalah ahli hadits (perawi = periwayat) yang sangat terpercaya dalam ilmu hadits. Hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya. Ia lahir di Bukhara pada bulan Syawal tahun 194 H. Dipanggil dengan Abu Abdillah. Nama lengkap beliau Muhammmad bin Islmail bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari Al Ju’fi. Beliau digelari Al Imam Al Hafizh, dan lebih dikenal dengan sebutan Al Imam Al Bukhari.
Sewaktu kecil Al Imam Al Bukhari buta kedua matanya. Pada suatu malam ibu beliau bermimpi melihat Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam yang mengatakan, “Hai Fulanah (yang beliau maksud adalah ibu Al Imam Al Bukhari, pent), sesungguhnya Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putramu karena seringnya engkau berdoa”. Ternyata pada pagi harinya sang ibu menyaksikan bahwa Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putranya.
Ketika berusia sepuluh tahun, Al Imam Al Bukhari mulai menuntut ilmu, beliau melakukan pengembaraan ke Balkh, Naisabur, Rayy, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Mesir, dan Syam. Guru-guru beliau banyak sekali jumlahnya. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Abu ‘Ashim An-Nabiil, Al Anshari, Makki bin Ibrahim, Ubaidaillah bin Musa, Abu Al Mughirah, ‘Abdan bin ‘Utsman, ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, Shadaqah bin Al Fadhl, Abdurrahman bin Hammad Asy-Syu’aisi, Muhammad bin ‘Ar’arah, Hajjaj bin Minhaal, Badal bin Al Muhabbir, Abdullah bin Raja’, Khalid bin Makhlad, Thalq bin Ghannaam, Abdurrahman Al Muqri’, Khallad bin Yahya, Abdul ‘Azizi Al Uwaisi, Abu Al Yaman, ‘Ali bin Al Madini, Ishaq bin Rahawaih, Nu’aim bin Hammad, Al Imam Ahmad bin Hanbal, dan sederet imam dan ulama ahlul hadits lainnya.
Penelitian Hadits
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hafal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat/pembawa) hadits itu tepercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami'al-Shahil yang dikenal sebagai Shahih Bukhari. Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya seperti Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim.
Karya
Al-Jami' ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari, Al-Adab al-Mufrad, Adh-Dhu'afa ash-Shaghir, At-Tarikh ash-Shaghir, At-Tarikh al-Ausath, At-Tarikh al-Kabir, At-Tafsir al-Kabir, Al-Musnad al-Kabir, Kazaya Shahabah wa Tabi'in, Kitab al-Ilal, Raf'ul Yadain fi ash-Shalah, Birr al-Walidain, Kitab ad-Du'afa, Asami ash-Shahabah, Al-Hibah, Khalq Af'al al-Ibad, Al-Kuna, Al-Qira'ah Khalf al-Imam.
3. Imam Muslim
Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Imam Muslim dilahirkan di Naisabur tahun 202 H atau 817 M. Naisabur, saat ini termasuk wilayah Rusia. Dalam sejarah Islam, Naisabur dikenal dengan sebutan Maa Wara’a an Nahr, daerah-daerah yang terletak di belakang Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah.
Naisabur pernah menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan tidak kurang 150 tahun pada masa Dinasti Samanid. Tidak hanya sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, kota Naisabur juga dikenal saat itu sebagai salah satu kota ilmu, bermukimnya ulama besar dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah.
Kecenderungan Imam Muslim kepada ilmu hadits tergolong luar biasa. Keunggulannya dari sisi kecerdasan dan ketajaman hafalan, ia manfaatkan dengan sebaik mungkin. Di usia 10 tahun, Muslim kecil sering datang berguru pada Imam Ad Dakhili, seorang ahli hadits di kotanya. Setahun kemudian, Muslim mulai menghafal hadits dan berani mengoreksi kekeliruan gurunya ketika salah dalam periwayatan hadits.
Imam Muslim dalam menetapkan kesahihan hadits yang diriwayatkkanya selalu mengedepankan ilmu jarh dan ta’dil. Metode ini ia gunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Selain itu, Imam Muslim juga menggunakan metode sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat). Dalam kitabnya, dijumpai istilah haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarani (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), maupun qaalaa (ia berkata). Dengan metode ini menjadikan Imam Muslim sebagai orang kedua terbaik dalam masalah hadits dan seluk beluknya setelah Imam Bukhari.
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Perbedaan ini terjadi bila dilihat dari sisi pada sistematika penulisannya serta perbandingan antara tema dan isinya.
Wafatnya
Setelah mengarungi kehidupan yang penuh berkah, Muslim wafat pada hari Ahad sore, dan di makamkan di kampung Nasr Abad daerah Naisabur pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun. Selama hidupnya, Muslim menulis beberapa kitab yang sangat bermanfaat.
Para Gurunya
Imam Muslim mempunyai guru hadits sangat banyak sekali, diantaranya adalah: Usman bin Abi Syaibah, Abu Bakar bin Syaibah, Syaiban bin Farukh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harab, ’Amar an-Naqid, Muhammad bin Musanna, Muhammad bin Yasar, Harun bin Sa’id al-Aili, Qutaibah bin sa’id dan lain sebagainya.
Imam muslim mempunyai kitab hasil tulisannya yang jumlahnya cukup banyak, di antaranya: Al-Jamius Shahih, Al-Musnadul Kabir Alar Rijal, Kitab al-Asma’ wal Kuna, Kitab al-Ilal, Kitab al-Aqran, Kitab Sualatihi Ahmad bin Hanbal, Kitab al-Intifa’ bi Uhubis Siba’, Kitab al-Muhadramain, Kitab Man Laisa Lahu illa Rawin Wahidin, Kitab Auladus Sahabah, Kitab Auhamul Muhadisin.

B. Referensi Hadits
1. Kitab Arba’in Imam An-Nawawi
2. Kitab Shohih Bukhari
3. Kitab Shohih Muslim


C. Fiqhul Hadits
Dalam hadits diatas kita dapat keterangan bahwa Nabi SAW membagi segala sesuatu perkara menjadi tiga macam:
Pertama, perkara yang telah jelas kehalalannya yang tidak ada kesamaran di dalamnya. Yaitu perkara-perkara telah disebutkan nash tentang kehalalannya, berarti halal. Seperti firman Allah SWT: " Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu,..." (Al Maidah :5)
Kedua, perkara-perkara yang jelas keharamannya, yang tidak ada kesamaran di dalamnya. Yaitu apa-apa yang telah disebutkan nashnya tentang keharamannya. Segaimana firman Allah SWT: "Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;,.." (An Nisaa' :23)
Ketiga, Perkara-perkara syubhat yang tidak jelas hukumnya, apakah dia halal atau haram. Hukumnya tidak diketahui oleh banyak orang.
Sebagian ulama membagi syubhat menjadi tiga macam :
1. Sesuatu yang diketahui manusia sebagai barang haram, namun ragu apakah pengharaman itu sudah hilang (tidak berlaku) ataukah belum. Misalnya, daging binatang yang diharamkan bagi seseorang untuk dimakan sebelum disembelih, jika ia meragukan penyembelihannya. Maka, daging tersebut haram hingga dapat diyakini telah disembelih. Dasar masalah ini adalah Hadist Ady bin Hatim, disebutkan bahwa ia berkata, “Ya, Rasulullah, sesungguhnya aku melepas anjing pemburuku dan aku ucapkan bismillah padanya. Namun, aku dapati ada anjing lain yang melakukan pemburuan juga menyertai anjing milikku . (bagaimana kami mengambil sikap?).” Beliau menjawab,”Jangan kau makan (hasil buruan tersebut), karena engkau hanya mengucapkan basmalah pada anjing buruanmu dan tidak engkau ucapkan basmalah pada anjing yang lain!” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Kebalikan dari yang pertama, yaitu bahwa sesuatu itu sebenarnya halal, lalu diragukan keharamannya. Misalnya, seseorang mempunyai istri kemudian ia ragu apakah ia telah menalak istrinya atau belum. Hal seperti ini pada dasarnya adalah mubah (halal) sampai dapat diketahui secara pasti mengenai keharamannya. Dasar masalah ini adalah hadist dari Imam Bukhari. Dari ‘Abbad bin Tamim dari pamannya bahwa ia mengadu kepada Rasulullah tentang seseorang yang merasa seolah ada sesuatu yang telah keluar dari perutnya (kentut) ketika sedang menunaikan shalat. Lalu, beliau bersabda ,”Janganlah ia berpaling (menggugurkan shalatnya) sampai benar-benar mendengar suara atau mencium baunya.”
3. Seseorang merasa ragu perihal sesuatu apakah halal atau haram. Kedua kemungkinan ini sama kuatnya dan tidak ada petunjuk yang menguatkan salah satunya. Hal seperti ini sebaiknya dijauhi. Ini sebagaimana sikap yang diambil oleh Rasulullah ketika beliau menemukan kurma di rumahnya, maka beliau bersabda: "Kalau saja aku tidak khawatir (kurma) ini harta shadaqah, niscaya aku telah memakannya." (Riwayat Bukhari)
Hal ini berbeda dengan orang-orang melampaui batas dalam hal yang membatalkan sesuatu yang telah jelas halal karena adanya khayalan atau dugaan-dugaan semata. Seperti orang yang tak mau menggunakan air bekas dengan dalih takut terkena najis, atau tidak mau shalat di tempat yang bersih dengan alasan takut kalau ada bekas air kencing yang telah kering, dan lain sebagainya. Maka sikap semacam ini tidak layak untuk diikuti. Karena sikap semacam itu merupakan bisikan syetan agar manusia menjadi ragu (waswasah). Tidak ada kaitannya dengan syubhat sedikitpun.
Usai menerangkan perkara yang syubhat ini, selanjutnya Rasulullah bersabda, “Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan.” Artinya, sudah menjadi kebiasaan bahwa raja-raja membuat daerah larangan atau wilayah penjagaan yang berupa taman-taman atau ladang tumbuh tanaman dan rerumputannya.
            “Dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan.” Maksudnya,segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah atas hamba-Nya adalah wilayah penjagaan-Nya. Sebab, Allah melarang mereka untuk masuk kedalamnya.
Lalu Rasulullah SAW menjelaskan bahwa di dalam jasad manusia terdapat mudghah (seukuran daging yang bisa dikunyah orang yang memakannya). Kalau sepotong daging itu baik, maka baik pula seluruh jasad yang lain. Sebaliknya, jika sepotong daging itu buruk, maka buruk pula seluruh jasad yang lain. Beliau menjelaskan hal ini dalam sabda selanjutnya, “ketahuilah ia adalah hati.” Ini adalah petunjuk bahwa setiap kita harus benar-benar menjaga apa yang ada dalam hati kita, yaitu hawa nafsu karena ia dapat menjatuhkan dan merusakkan diri kita sehingga terjerumus dalam perkara haram serta perkara syubhat.
Cara menyikapi syubhat:
Sesuatu yang telah jelas kehalalannya atau keharamannya, maka jelas pula bagi kita bagaimana menyikapinya. Karena yang halal tentu saja boleh kita lakukan sedangkan yang haram harus kita tinggalkan. Oleh karena itu, ketika syubhat itu bersifat relatif, sebagaimana dijelaskan di atas, maka bagi orang yang telah mengetahui hakikat suatu perkara apakah termasuk yang halal atau haram, meskipun perkara itu bagi orang lain termasuk syubhat, dia harus menyikapinya sesuai dengan hukum yang dia ketahui. Jika haram maka dia tinggalkan namun jika halal berarti dia boleh mengambilnya.
Adapun bagi orang yang memiliki kesamaran hukum pada suatu perkara tertentu, maka hadits di atas telah memberikan bimbingan dan pengarahan yang jelas. Rasulullah SAW bersabda, “Maka siapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya.”
Sabda Nabi SAW itu merupakan pengarahan bagi siapa saja yang menghadapi perkara syubhat, untuk meninggalkannya dan tidak menjerumuskan diri kepadanya, karena perkara syubhat ini jelas meragukan. Sedangkan dalam hadits lain Rasulullah SAW telah bersabda, “Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukan.” (Riwayat at-Tirmidzi dan dia berkata, hadits hasan shahih)
Dan alasan Nabi SAW ketika mengarahkan kita untuk menjauhi syubhat nampak pada perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya.” Yakni, dengan kita menjauhi syubhat, berarti kita telah berusaha menjaga diri kita dari perkara yang haram. Sehingga kita berarti telah membersihkan diri dalam agama, dalam hubungan kita dengan Allah. Dan dengannya kita pun akan terbebas dari pembicaraan manusia akan kehormatan kita. Karena jika kita melakukan perkara yang syubhat, banyak orang akan mengatakan fulan melakukan ini dan itu.
Rasulullah SAW juga mengatakan, “Dan siapa yang terjerumus ke dalam syubhat itu berarti dia terjerumus ke dalam perkara yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan (binatang ternaknya) di sekitar daerah terlarang, hampir-hampir dia akan masuk menggembalakan (binatang ternaknya) di daerah tersebut.” Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dijelaskan oleh para ulama dengan dua kemungkinan makna.
Pertama, orang yang masuk ke dalam syubhat, berarti dia telah melakukan perkara yang haram. Karena dengan terjerumusnya dia ke dalam syubhat berarti dia telah melakukan suatu hal yang tidak didasari dengan ilmu. Dan perbuatan ini jelas diharamkan oleh Allah. Padahal adanya syubhat padanya menunjukkan bahwa dia tidak memiliki ilmu yang pasti tentangnya.
Makna kedua, masuknya seseorang ke dalam syubhat adalah jalan kepada perkara yang haram. Yakni, ketika dia bermudah-mudah dalam perkara syubhat, dikhawatirkan dia akan terjerumus ke dalam perkara yang haram dan meremehkannya. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah larangan, sangat dikhawatirkan ternaknya akan masuk ke daerah larangan tersebut.
Apapun kemungkinan maknanya, yang jelas di sini adalah petunjuk bagi kita untuk meninggalkan segala perkara yang syubhat, yang meragukan, sehingga kita benar-benar mengetahui hukumnya secara yakin.

D. Kesimpulan
1. Termasuk sikap wara’ adalah meninggalkan syubhat.
2. Banyak melakukan syubhat akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan haram.
3. Menjauhkan perbuatan dosa kecil karena hal tersebut dapat menyeret seseorang kepada perbuatan dosa besar.
4. Memberikan perhatian terhadap masalah hati, karena padanya terdapat kebaikan fisik.
5. Baiknya amal perbuatan anggota badan merupakan pertanda baiknya hati.
6. Pertanda ketakwaan seseorang jika dia meninggalkan perkara-perkara yang diperbolehkan karena khawatir akan terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan.
7. Menutup pintu terhadap peluang-peluang perbuatan haram serta haramnya sarana dan cara kearah sana.
8. Hati-hati dalam masalah agama dan kehormatan serta tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan persangkaan buruk.



Related Posts

Makalah hadits tarbawi: Halal, Haram, dan Syubhat
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.