Istishhab secara etimologi adalah
isim masdar dari istashhaba yastashhibu istishhaban diambil dari “استفعال من الصّحبة ” yang berarti thalab as-shuhbah
atau mencari hubungan atau adanya saling keterkaitan. Sedangkan
istishhab secara terminologi :
1. Ibnu Qoyyim Aj-Jauziy mengistilahkan
:
استدامة
اثبات ما كان ثابتا او نفي ما كان منفيّا
” tetapnya sebuah ketentuan yang
sebelumnya sudah menjadi suatu ketentuan atau tetapnya sebuah larangan yang
sebelumnya sudah menjadi larangan. “[1]
2. Imam Asy-Syaukani mengistilahkan :
الاستصحاب
هو بقاء الامر ما لم يوجد ما يغيّره
” Tetapnya sesuatu perkara selama tidak
ada dalil yang merubahnya.” Istilah ini bisa dipahami dengan makna : apa yang
sudah ditetapkan pada masa lalu pada dasarnya merupakan sebagai sebuah
ketetapan pula pada masa yang akan datang.”[2]
3. Ibnu Hazm membuat definisi ishtishhab
:
الاستصحاب
هو بقاء حكم الأصل الثّابت بالنصوص حتّى يقوم الدّليل منها على التّغيير
” Tetapnya hukum asal yang ditetapkan
oleh nushush sehingga ada dalil dari nushush tersebut yang merubahnya “.[3]
B.
Pembagian Istishhab
Istishhab terbagi kepada lima macam, yaitu:
a. Istishab al-ibahah al-asliyah. Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi
manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Misalnya, seluruh pepohonan yang ada di hutan merupakan milik bersama umat
manusia dan masing-masing orang berhak untuk menebang dan memanfaatkan pohon
dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkkan bahwa hutan itu telah menjadi
milik seseorang. Dalam kaitan ini,
alasan yang dikemukakan para ahli ushul fiqh berdasarkan firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah: 29 yang artinya: Dia- lah yang telah menjadikan bagi kamu seluruh yang ada di bumi ini…
Menurut ayat diatas, bahwa mencari
rizki adalah hak setiap orang dan halal, selama tidak ada dalil lain yang
menunjukkan bahwa hukum boleh dan halal itu telah berubah. Misalnya,
apabila hutan yang tadinya bisa dimanfaatkan setiap orang berdasarkan keputusan
pemerintah telah ditetapkan menjadi hak bagi orang tertentu. Berdasarkan ketetapan pemerintah ini, maka hukum
kebolehan memanfaatkan hukum tersebut berubah menjadi tidak boleh. Istishab seperti ini menurut para ulama’
ushul fiqh dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.[4]
b. Istishhab al-Bara`ah al-Ashliyyah dapat dipahami dengan contoh sebagai berikut : seperti
tidak adanya kewajiban melaksanakan syari’at bagi manusia, sehingga ada dalil
yang menunjukan dia wajib melaksanakan kewajiban tersebut,. Maka
apabila dia masih kecil maka dalilnya adalah ketika dia sudah baligh.
c. Istishhab al-hukm bisa dipahami
apabila hukum itu menunjukan pada dua terma yaitu boleh atau dilarang, maka itu
tetap di bolehkan sehingga ada dalil yang mengharamkan dari perkara yang
diperbolehkan tersebut, begitu juga sebaliknya.
Contoh konkrit istishhab ini dapat
dilihat dalam masalah pemilikan rumah. Seseorang yang memilki sebuah rumah atau
harta bergerak seperti mobil, ia tetap dianggap sebagai pemilik rumah dan
mobilnya selama tidak ada bukti menunjukkan ada peristiwa yang merubah status
hukumnya, seperti melalui jual beli atau telah dihibahkannya kepada orang lain.
d. Istishhab
al-Washfi dipahami dengan menetapkan sifat asal pada sesuatu,
seperti tetapnya sifat hidup bagi orang hilang sehingga ada dalil yang
menunjukan bahwa dia telah meninggal, dan tetapnya sifat suci bagi air selama
belum ada najis yang merubahnya baik itu warna,rasa atau baunya.
e. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’. Misalnya, para ulama’ fiqh menetapkan berdasarkan ijma’
bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan
shalat. Apabila shalatnya selesai ia kerjakan, maka shalatnya dinyatakan sah. Akan
tetapi apabila dalam keadaan shalat ia melihat ada air, apakah shalatnya harus
dibatalkan untuk kemudian berwudlu atau shalat itu diteruskan. Menurut
ijma’ para ulama’ bahwa shalat itu
sah dikerjakan sebelum melihat air. Mereka menggangap hukum ijma’ itu tetap
berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan
bahwa ia harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudlu dan mengulang
kembali shalatnya. [5]
C. Dalil-dalil Aplikasi
Istishhab
1. Dalil Naqli :
a. Al-Quran
Ayat yang digunakan dalam aplikasi istishhab yaitu dengan
memperhatikan (istiqra) ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum syara dan itu
tetap selama tidak ada dalil yang merubahnya.
Seperti haramnya alkohol di tetapkan oleh al-quran yang
menjelaskan haramnya khamar, apabila sudah berubah sifatnya menjadi al-khol (
cuka ) maka itu tidak haram lagi karena sudah hilang sifat memabukannya.
” Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamar (arak), berjudi, ( berkorban untuk) berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan”. ( QS. 05 : 90 )
b. As-Sunnah
Dari Abi Hurairah Rasulullah Saw. Bersabda : Apabila
salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu diperutnya maka dia ragu apakah
keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah keluar meninggalkan mesjid sehingga
terdengar suara, atau keluar angin. ( HR. Muslim )
2. Dalil ‘Aqli :
Secara naluriah akal kita bisa menghukumi segala sesuatu
boleh atau tidak, ada dan tiada dengan melihat pada asal mulanya selama belum
ada dalil yang mengingkari sebaliknya, maka itu tetap di hukumi seperti
asalnya, seperti bahwa manusia terlahir ke dunia ini selamanya disifati hidup
selama belum ada bukti yang jelas bahwa dia sudah meninggal.
D. Perbedaan Pendapat
tentang Hujjiyyatul Istishhab menurut Ahli Ushul
Para ahli ushul terbagi
menjadi beberapa madzhab:[6]
1. Jumhur diantaranya :
malikiyyah, hanabilah, sebagian besar syafi’iyyah, dan sebagian hanafiyyah.
Berpendapat bahwa istishhab sebagai hujjah secara mutlaq baik itu nafyi
atau itsbat.
2. Sebagian
syafi’iyyah, sebagian besar hanabilah dan mutakallimin seperti Husein
al-Bishri, mereka berpendapat bahwa istishhab bukan hujjah secara mutlak
baik itu dalam nafyi atau itsbat.
3. Para pengikut
hanafiyyah al-mu’ashir mereka berpendapat : bahwa istishhab sebagai hujjah liddaf’I
la lil itsbat.
4. Al-Baqalani
berpendapat bahwa istishhab itu hujjah bagi mujtahid akan tetapi tidak
boleh digunakan dalam perkara yang di perdebatkan.
5. Abu Ishaq menukil
dari Imam Syafi’I berpendapat bahwa istishhab hanya boleh dijadikan sebagai
penguat dari dalil saja tidak untuk yang lainnya.
6. Abu Manshur
al-Bagdadi dari sebagian syafi’iyyah berpendapat bahwa mustashhib jika tujuannya
melarang apa yang sebenarnya telah dilarang maka itu boleh, akan tetapi
bila tujuannya itsbat berbeda dengan pandangan orang yang memungkinkan
menggunakan istihhab al-hal dalam melarang maka apa yang di itsbatkannya itu
tidak sah ( salah ).
E. Kaidah-kaidah yang
Membangun Istishhab
1. الأصل فى الأشياء
الاباحة
“Hukum pokok sesuatu adalah kebolehan.”
Dalam firman Allah : Dialah Allah, yang menjadikan segala
yang ada di bumi untuk kamu
(QS. Al-Baqarah : 29)
Maka bisa di ambil sebuah kesimpulan bahwa setiap apa
yang ada di muka bumi ini pada asalnya adalah boleh selama tidak ada dalil yang
melarangnya.
2. الأصل بقاء ماكان على ماكان
“Hukum pokok (sesuatu)
adalah sebagaimana adanya.”
Dalam Firman Allah Swt. : dan Kami turunkan dari langit
air yang sangat bersih. Dalam sabda Nabi Saw. :” sesunnguhnya air itu suci “
Air selamanya adalah suci dan
mensucikan selama belum ada yang merubah hakikat air tersebut.
3. اليقين لا يزول بالشك
“Sesuatu yang
meyakinkan tidak hilang karena keraguan.”
Dari Abi Hurairah Rasulullah Saw.
Bersabda : Apabila salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu diperutnya
maka dia ragu apakah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah keluar
meninggalkan mesjid sehingga terdengar suara, atau keluar angin. ( HR.
Muslim )
4. الأصل فى الذمّة براءة
“Hukum pokok dalam
pertanggungjawaban adalah kebebasan.”
Seseorang mengadu bahwa fulan memiliki hutang kepadanya,
kemudian fulan mengingkari pengaduan tersebut, yang mengadu tidak bisa
membuktikan bahwa fulan itu memiliki hutang kepadanya, maka fulan tersebut
terbebas dari hutang.
F. Aplikasi Ulama Fiqh
dengan Istishhab
1. Ibnu Abi Laila (
74-148 H)
Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila Al-Anshari seorang
Hakim dan Faqih di Kufah pada masa Umayyah sampai Abasiyah beliau adalah orang
yang berfatwa dengan ra’yu sebelum Abu Hanifah
Ibnu Qudamah meriwayatkan bahwasanya Abu Laila berkata
tidak ada zakat untuk madu dengan alasan tidak ada dalil yang kuat yang
menjelaskan wajibnya zakat madu.[7]
Dari sana kita mengetahuai metode pendekatan yang dilakukan oleh Abu Laila adalah
dengan cara ishtishhab yaitu al-Bara`ah al-Ashliyah ( pada asalnya tidak ada
hukum ) dalam menetapkan menentukan suatu hukum maka selama tidak ada dalil
shahih yang menerangkan wajibnya zakat maka pada madu itu tetep tidak ada wajib
zakat.
2. Abu Hanifah ( 81-150
H )
Imam al-Kurkhi dan al-Sarkhosy mengatakan bahwa Abu
Hanifah dan pengikutnya ( hanafiyah ) menjadikan sebuah qo’idah sebagai rujukan
yaitu, “ma sabata bi al-yaqin la yazulu bi asy-syak: suatu yang ditetapkan
dengan yakin tidak bisa hilang dengan suatu yang diragukan.”[8]
Seperti yang diriwayatkan dari al-Kurdi : “dikisahkan
salah seorang datang kepada Abu Hanifah kemudian dia bertanya kepada Abu
Hanifah : aku tidak tahu apakah aku sudah menolak istriku atau tidak ? maka Abu
Hanifah menjawab : kamu tidak men-talaq istri kamu sehingga kamu benar-benar
yakin telah men-talaqnya.”[9]
Dan Imam As-Sarkhosy meriwayatkan bahwa imam Abu Hanifah
berkata: barang siapa yang ragu apakah dia berhadats maka dia memiliki wudhunya
dan apabila ragu apakah punya wudlu atau tidak maka dia adalah berhadats. Dari kedua contoh diatas menunjukan bahwa imam Abu
Hanifah mengamalkan kaidah al-Yakin la Yu’aridlu bi as-Syak yang
merupakan salah satu kaidah yang selaras dengan methode istishhab.
3. Imam Malik ( 93-179
H )
Dalam kitab al-Mudawwanah dituliskan : imam Malik berkata
” tidak boleh dibagikan harta warisan orang yang hilang sehingga ada kabar
tentang kematiannya atau setelah mencapai masa yang tidak mungkin dia masih
hidup, maka harta warisan itu dibagikan hari itu yang jadi ditetapkannya bahwa
dia sudah meninggal.
Dan imam Malik meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah Saw.
: barang siapa ragu dalam jumlah raka’at shalat maka dia harus menetapkan
dengan yakin yaitu mengambil yang sedikit.
Akan tetapi kita mendapatkan bahwa imam Malik dalam
beberapa masalah beliau berfatwa berbeda dari apa yang telah di tetapkannya
dengan methode istishhab yaitu mengambil yang lebih kecil (sedikit). Imam
Sahnun meriwayatkan : aku bertanya ” kalau ada suami yang men-talaq istrinya
kemudian dia tidak tahu apakah dia men-talaqnya yang pertama, kedua atau
ketiga. Bagaimanakah pendapat malik ? imam Malik menjawab : tidak halal baginya
sehingga ada orang lain yang menikahinya terlebih dahulu.[10]
Dan pendapat ini bertentangan dengan pendapat jumhur yang mengambil yang lebih
kecil.
4. Imam Asy-Syafi’i (
150-204 H )
Imam asy-Syafi’I pernah mengamalkan ishtishhab yaitu
beliau pernah berkata : apabila seseorang melakukan perjalanan dan dia membawa
air maka dia ragu apakah sudah ada najis yang tercampur dengan air tersebut
dengan tidak yakin, maka air itu tetap dalam kesuciannya.
Dia boleh berwudhu dan minum dari air tersebut sehingga dia yakin ada najis
yang sudah bercampur dengan air tersebut.
Dan imam asy-Syafi’I pernah berkata : kalau seseorang
ragu apakah keluar mani atau tidak? Maka dia tidak wajib mandi sehingga dia
yakin, akan tetapi dalam menjaga kehati-hatian dianjurkan mandi.
G. Contoh-contoh
Aplikasi Istishhab
1. Kepemilikan dalam
barang dengan cara yang syar’i maka kepemilikan barang tersebut tidak akan
berubah kecuali dengan pemindahan kepemilikan barang secara syar’I pula baik
itu dengan jual-beli, hadiah atau diwariskan.
2. Apabila seseorang
ragu ketika sahur di bulan ramadhan apakah udah terbit fajar atau belum maka
ambillah suatu yang dianggap yakin maka ketika dia yakin bahwa telah terbit
fajar maka tahanlah dari makan dan minum.
3. Kasus seseorang
hilang maka dia selamanya di hukumi hidup apabila belum ada keterangan yang
menyatakan bahwa dia telah meninggal, maka status istrinya masih sah bagi orang
yang hilang tersebut dan tidak boleh membagikan harta warisan sebelum ada bukti
yang menjelaskan kematiaanya tersebut.
4. Ada seorang istri
mengadu bahwa suaminya telah mentalaqnya kemudian sang suami mengingkari
pengakuan istrinya, sang istri tidak bisa membuktikan bahwa suaminya telah
mentalaqnya maka pernikahan mereka masih sah karena asal adalah tetap sahnya
pernikahan.
5. Jika seseorang tawaf di baitullah dia tidak tahu
sudah sempurna atau belum, maka sempurnakanlah apabila merasa masih belum
sempurna.
Malikiyyah berpendapat barang siapa yang punya wudhu
kemudian di ragu dia berhadats, maka dia harus mengulang wudhunya sehingga
tidak ada lagi keraguan dalam hatinya, karena ragu-ragu bisa menghilangkan
kekhusyukan shalat.
Ibnu Hajar Al-Asyqalani menjelaskan dalam Fathu Al-Bari
hadits dari ‘Ibadudin bin tamim al-mutaqaddimah meriwayatkan dari Malik sebagai
bantahan secara mutlak ( diriwayatkan dari Malik : bahwa menentukan berhadats
atau tidaknya ialah ketika diluar shalat bukan ketika shalat. )
[1] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,
Dar Al-Fikr Al-’Arabi, hal. 276. Muhammad Bakar Ismail, Al-Qawaid
Al-Fiqhiyyah baina Al-Ashalah wa At-Taujih, Dar Al-Manar, 1997, hal 60
[2]Ibid, hal 60
[3] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islamy, Dar Al-Fikr,
cetakan kedua, Damaskus, 2004, hal.888
[4] Nasrun Harun,Op.Cit.hal.129-130.
[5] Ibid, hal.131-133.
[6] Dr. As’ad Abdul Ghani as-Sayyid al-Kafrawi, al-Istidlal ‘inda
al-Ushulliyyin, Dar As-Salam, Kairo, 2005, hal. 515.
[7] Dr. Muhammad Baltaji, Manahij at-Tasri’ al-Islami fi al-Qorni
ats-Tsani al-Hijry, Maktabah al-Balad al-Amin, 2000, jilid 1, hal. 230.
[9] Dr. Muhammad Baltaji, Manahij at-Tasri’ al-Islami fi al-Qorni
ats-Tsani al-Hijry, Maktabah al- Balad al-Amin, 2000, jilid 1, hal. 329.
[10] Ibid. hal. 111.
Makalah Ushul Fiqh: Istishhab
4/
5
Oleh
Anonymous