عَنْ اَبـِيْ عَبْدِ اللهِ
النـُّـعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنـْهُمَا قـَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلـَّى اللهُ عَلـَيْهِ وَسَلـَّمَ يَقـُوْلُ: اِنَّ الـْـحَلاَلَ بَيِّنٌ
وَاِنَّ الـْـحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنـَهُمَا اُمُوْرٌ مُتـَشَابـِهَاتٌ لاَ
يَعْلـَمُهُنَّ كـَثِيْرٌ مِنَ النـَّاسِ فـَمَنِ اتـَّقـَى الشُّبُهَاتِ فـَقـَدِ
اسْتـَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقـَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقـَعَ فِي
الـْـحَرَامِ كـَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الـْـحِمَى يُوْشِكُ اَنْ يَرْتـَعَ
فِيْهِ اَلاَ وَاِنَّ لِكـُلِّ مَلِكٍ حِمَى اَلاَ وَاِنَّ حِمَى اللهِ
مَحَارِمُهُ اَلاَ وَاِنَّ فِيْ الـْجَسَدِ مُضْغـَة ً اِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ
الـْجَسَدُ كـُلـُّهُ وَاِذَا فـَسَدَتْ فـَسَدَ الـْجَسَدُ كـُلـُّهُ اَلاَ
وَهِيَ الـْقـَلـْبُ
(رواه البخارى ومسلم)
Dari Abi Abdillah An-Nu’man bin Basyir -rodhiyallohu
‘anhu- berkata, aku telah mendengar Rosululloh -Shollallohu ‘Alaihi
Wasallam- bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang halal itu jelas dan
sesungguhnya sesuatu yang haram itu jelas. Sedangkan diantara keduanya ada
perkara yang samar-samar yang kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya. Barangsiapa menjaga dirinya dari perkara yang samar-samar,
berarti ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa melakukan
perkara yang samar-samar maka ia telah jatuh dalam perkara yang haram seperti
menggembala di sekeliling tanah larangan (halaman orang lain) maka lambat laun
ia akan masuk ke dalamnya. Ingatlah bahwa tiap-tiap raja ada larangannya.
Larangan Allah ialah yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad itu ada
segumpal daging. Jika ia baik, baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak,
rusaklah seluruh jasadnya. Ingatlah daging itu adalah hati.” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
A. Sumber Hadits
1. Abu Abdillah
Nu’man bin Basyir
Perawinya
adalah Abu Abdillah Nu’man bin Basyir Al Madani adalah seorang shahabat dari
kalangan Anshar. Kuniyah beliau Abu Abdillah. Bapak beliau adalah seorang
shahabat yang mulia bernama Basyir bin Sa’ad bin Tsa’labah bin Julas bin Za’id
Al Anshori Al Khazraji, dari kalangan suku khazraj, salah satu suku terkenal di
Madinah.
Bapaknyalah
yang memperkenalkannya kepada Rasulullah SAW. Ketika kelahirannya, Nu’man bin
Basyir dibawa kepada Rasulullah SAW untuk didoakan. Lalu Rasulullah SAW dan
mengkhabarkan bahwa anak itu (Nu’man bin Basyir) akan seperti bapaknya menjadi
shahabat yang mulia dan akhir hidupnya juga akan sama, yaitu meninggal karena
dibunuh. Pada akhirnya Nu’man bin Basyir memang meninggal karena dibunuh oleh
seorang munafik dari Hims (Damaskus). Khabar ini adalah khabar gaib dari Allah SWT
dan apa yang dikhabarkan beliau SAW akan terbukti.
Jadi
merupakan suatu sunnah untuk membawa seorang bayi yang baru lahir kepada orang
yang shaleh untuk didoakan dan ditahnik atau kalau bisa juga untuk diberi nama.
Hal ini bukan hanya khususiyah bagi Rasulullah SAW saja, karena sesudah
wafatnya Rasulullah SAW, para shahabat juga mendatangi Abu Bakar untuk meminta
beliau mendoakan anaknya dan ini berlanjut terus sampai tabiin.
Ibu
dari Nu’man bin Basyir adalah seorang shahabiyah yang bernama ‘Amrah bintu
Rawahah رضى الله عنها , saudara perempuan dari shahabat yang mulia Abdullah bin
Rawahah (salah seorang penyair Rasulullah SAW dan pemimpin perang Mu’tah).
Nu’man bin Basyir adalah keponakan dari Abdullah bin Rawahah dari sisi ibunya.
Jadi beliau hidup dan belajar dari kalangan para shahabat sehingga beliau
menjadi seorang yang shaleh dan shahabat yang mulia.
Diikhtilafkan
oleh para Ulama tentang Nu’man bin Basyir, apakah beliau pernah mendengar
langsung dari Rasulullah SAW atau hadits-haditsnya hanya murshal shahabi saja
(menukil dari shahabat-shahabat yang lain)?, karena ada juga shahabat yang
tidak mendengarkan langsung hadits dari Rasulullah SAW tetapi hanya menukil
dari shahabat yang lain yang mendengarkan sabda Rasulullah SAW. Ahlul Madinah
(ulama-ulama dari kalangan Madinah) banyak yang mengatakan bahwa Nu’man bin
Basyir tidak pernah mendengarkan langsung dari Rasulullah SAW, namun Ahlul
Kufah mengatakan bahwa Nu’man bin Basyir pernah mendengarkan langsung, dan
hadits yang pernah didengarkan beliau langsung dari Rasulullah SAW adalah
hadits ini. Karena beliau mengatakan “ سمعت “ (saya
mendengarkan), dan kalau seorang shahabat mengatakan “ سمعت “ berarti dia mendengarkan langsung. Kalau dia mengatakan “
عن “ (dari), berarti ada kemungkinan lewat perantara, tapi kalau
sudah mengatakan “ سمعت “ itu
menunjukkan bahwa dia mendengarkan langsung. Jadi pendapat yang benar adalah
pendapat Ahli Kufah. Dalam riwayat Imam Muslim رحمه
الله , beliau menegaskan
bahkan mengisyaratkan بأصبعيه
إلى أذنيه (beliau mengisyaratkan dengan telunjuknya menunjuk kepada kedua
telinganya) ketika beliau berkata سمعت (maknanya
saya mendengarkan langsung dan tidak lewat perantara).
Di
sini ada sebuah hukum dalam masalah Ilmu Hadits, bahwa orang yang mendengarkan
hadits dalam usia yang muda itu diterima haditsnya walaupun dia belum baligh
tapi dengan syarat dia menyampaikan hadits tersebut ketika dia sudah baligh.
Karena ketika Rasulullah SAW wafat, umur beliau (Nu’man) baru 8 tahun (belum baligh).
Berarti ketika mendengar hadits ini, beliau juga belum baligh tapi haditsnya
dapat diterima selama dia mumayyiz (dapat membedakan antara yang baik dan yang
buruk dan antara yang benar dan yang salah) tapi dengan syarat dia sampaikan
ketika dia sudah baligh. Sama dengan masalah, tidak mengapa menerima hadits
dari seorang yang waktu mendengarkan hadits masih dalam keadaan kafir dengan
syarat dia menyampaikan hadits itu ketika dia sudah masuk islam. Sebaliknya
jika ada yang mendengarkan hadits ketika ia masih seorang muslim, tapi dia
menyampaikan hadits itu ketika dia sudah kafir (murtad), maka haditsnya itu
tidak diterima/ditolak. Ini salah satu masalah dalam Ilmu Mustholah bahwa “ تَحَمُّل “,
menerima hadits orang yang masih muda dengan syarat dia menyampaikan ketika
sudah baligh, seperti Nu’man bin Basyir.
Diantara
keutamaan dari Nu’man bin Basyir adalah: pada masa Muawiyah, beliau dipilih
menjadi Amir di Kufah dan setelah kurang lebih 9 bulan di Kufah beliau
dipindahkan ke Hims (Damaskus) sebagai Qadhi di Hims. Ada sedikit ikhtilaf
dikalangan ulama, apakah hadits ini pertama kali beliau sebutkan ketika beliau
berada di Kufah atau setelah beliau berada di Hims. Dalam sebuah riwayat
dikatakan bahwa beliau berkhutbah dengan hadits ini ketika menjabat Amir di
Kufah, tapi dalam riwayat lain dikatakan bahwa beliau berkhutbah dengan hadits
ini ketika di Hims. Kata Ibnu Hajar Asqalani رحمه الله : “tidak ada masalah, boleh saja beliau
berkhutbah dua kali dengan hadits ini yaitu beliau sudah pernah berkhutbah dengan
hadits ini ketika beliau masih Amir di Kufah dan juga berkhutbah dengan hadits
ini ketika telah menjadi Qadhi di Hims”. Beliau juga terkenal sebagai khotib
yang bari’, ahli khutbah yang mempunyai balaghoh (keindahan bahasa dalam
berkhutbah dan ahli retorika). Beliau adalah shahabat yang pertama kali lahir
dikalangan Anshar setelah hijrah Nabi (sekitar 14 bulan setelah hijrah). Adapun
shahabat dari kalangan Muhajirin yang pertama kali lahir setelah hijrah adalah
Abdullah bin Zubair. Abdullah bin Zubair mengatakan bahwa Nu’man bin Basyir
lebih tua 6 bulan darinya.
Nu’man
bin Basyir wafat pada tahun 60 H. Pendapat lain mengatakan tahun 62 H dan ada
juga tahun 64 H, setelah menghindari fitnah Yazid bin Muawiyah tentang masalah
Abdullah bin Zubair. Beliau menghindari fitnah tersebut tetapi dibuntuti oleh
seorang munafik yaitu Khalid bin Khaly Al Khulai dari Dimasyq dan dialah yang
membunuh shahabat yang mulia Nu’man bin Basyir (sebagaimana yang pernah
dikhabarkan oleh Rasulullah).
2. Imam Bukhari
Imam Bukhari
adalah ahli hadits (perawi = periwayat) yang sangat terpercaya dalam ilmu hadits.
Hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan
julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu
Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya. Ia
lahir di Bukhara pada bulan Syawal tahun 194 H. Dipanggil dengan Abu Abdillah.
Nama lengkap beliau Muhammmad bin Islmail bin Al Mughirah bin Bardizbah Al
Bukhari Al Ju’fi. Beliau digelari Al Imam Al Hafizh, dan lebih dikenal dengan
sebutan Al Imam Al Bukhari.
Sewaktu kecil Al Imam
Al Bukhari buta kedua matanya. Pada suatu malam ibu beliau bermimpi melihat
Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam yang mengatakan, “Hai Fulanah (yang beliau maksud
adalah ibu Al Imam Al Bukhari, pent), sesungguhnya Allah telah mengembalikan
penglihatan kedua mata putramu karena seringnya engkau berdoa”. Ternyata pada
pagi harinya sang ibu menyaksikan bahwa Allah telah mengembalikan penglihatan
kedua mata putranya.
Ketika berusia sepuluh
tahun, Al Imam Al Bukhari mulai menuntut ilmu, beliau melakukan pengembaraan ke
Balkh, Naisabur, Rayy, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Mesir, dan Syam.
Guru-guru beliau banyak sekali jumlahnya. Di antara mereka yang sangat terkenal
adalah Abu ‘Ashim An-Nabiil, Al Anshari, Makki bin Ibrahim, Ubaidaillah bin
Musa, Abu Al Mughirah, ‘Abdan bin ‘Utsman, ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq,
Shadaqah bin Al Fadhl, Abdurrahman bin Hammad Asy-Syu’aisi, Muhammad bin
‘Ar’arah, Hajjaj bin Minhaal, Badal bin Al Muhabbir, Abdullah bin Raja’, Khalid
bin Makhlad, Thalq bin Ghannaam, Abdurrahman Al Muqri’, Khallad bin Yahya,
Abdul ‘Azizi Al Uwaisi, Abu Al Yaman, ‘Ali bin Al Madini, Ishaq bin Rahawaih,
Nu’aim bin Hammad, Al Imam Ahmad bin Hanbal, dan sederet imam dan ulama ahlul
hadits lainnya.
Penelitian Hadits
Untuk mengumpulkan dan
menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk
mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan
menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain
Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat.
Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad
bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari
merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua
hadits yang ia hafal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi
dengan seleksi yang sangat ketat diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits
tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat/pembawa) hadits itu tepercaya
dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan
sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami'al-Shahil yang dikenal
sebagai Shahih Bukhari. Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya seperti
Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim.
Karya
Al-Jami' ash-Shahih yang dikenal
sebagai Shahih Bukhari, Al-Adab al-Mufrad, Adh-Dhu'afa ash-Shaghir, At-Tarikh
ash-Shaghir, At-Tarikh al-Ausath, At-Tarikh al-Kabir, At-Tafsir al-Kabir, Al-Musnad
al-Kabir, Kazaya Shahabah wa Tabi'in, Kitab al-Ilal, Raf'ul Yadain fi
ash-Shalah, Birr al-Walidain, Kitab ad-Du'afa, Asami ash-Shahabah, Al-Hibah, Khalq
Af'al al-Ibad, Al-Kuna, Al-Qira'ah Khalf al-Imam.
3. Imam Muslim
Imam Muslim bernama
lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al
Qusyairi an Naisaburi. Imam Muslim dilahirkan di Naisabur tahun 202 H atau 817
M. Naisabur, saat ini termasuk wilayah Rusia. Dalam sejarah Islam, Naisabur
dikenal dengan sebutan Maa Wara’a an Nahr, daerah-daerah yang terletak di
belakang Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah.
Naisabur pernah menjadi pusat
pemerintahan dan perdagangan tidak kurang 150 tahun pada masa Dinasti Samanid.
Tidak hanya sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, kota Naisabur juga
dikenal saat itu sebagai salah satu kota ilmu, bermukimnya ulama besar dan
pusat peradaban di kawasan Asia Tengah.
Kecenderungan Imam
Muslim kepada ilmu hadits tergolong luar biasa. Keunggulannya dari sisi
kecerdasan dan ketajaman hafalan, ia manfaatkan dengan sebaik mungkin. Di usia
10 tahun, Muslim kecil sering datang berguru pada Imam Ad Dakhili, seorang ahli
hadits di kotanya. Setahun kemudian, Muslim mulai menghafal hadits dan berani
mengoreksi kekeliruan gurunya ketika salah dalam periwayatan hadits.
Imam Muslim dalam
menetapkan kesahihan hadits yang diriwayatkkanya selalu mengedepankan ilmu jarh
dan ta’dil. Metode ini ia gunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits.
Selain itu, Imam Muslim juga menggunakan metode sighat at tahammul
(metode-metode penerimaan riwayat). Dalam kitabnya, dijumpai istilah haddasani
(menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarani
(mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), maupun qaalaa
(ia berkata). Dengan metode ini menjadikan Imam Muslim sebagai orang kedua
terbaik dalam masalah hadits dan seluk beluknya setelah Imam Bukhari.
Sebenarnya para ulama
berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih
Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul,
sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih
Muslim. Perbedaan ini terjadi bila dilihat dari sisi pada sistematika
penulisannya serta perbandingan antara tema dan isinya.
Wafatnya
Setelah mengarungi
kehidupan yang penuh berkah, Muslim wafat pada hari Ahad sore, dan di makamkan
di kampung Nasr Abad daerah Naisabur pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam
usia 55 tahun. Selama hidupnya, Muslim menulis beberapa kitab yang sangat
bermanfaat.
Para Gurunya
Imam Muslim mempunyai
guru hadits sangat banyak sekali, diantaranya adalah: Usman bin Abi Syaibah,
Abu Bakar bin Syaibah, Syaiban bin Farukh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harab,
’Amar an-Naqid, Muhammad bin Musanna, Muhammad bin Yasar, Harun bin Sa’id
al-Aili, Qutaibah bin sa’id dan lain sebagainya.
Imam muslim mempunyai
kitab hasil tulisannya yang jumlahnya cukup banyak, di antaranya: Al-Jamius
Shahih, Al-Musnadul Kabir Alar Rijal, Kitab al-Asma’ wal Kuna, Kitab al-Ilal, Kitab
al-Aqran, Kitab Sualatihi Ahmad bin Hanbal, Kitab al-Intifa’ bi Uhubis Siba’, Kitab
al-Muhadramain, Kitab Man Laisa Lahu illa Rawin Wahidin, Kitab Auladus Sahabah,
Kitab Auhamul Muhadisin.
B. Referensi Hadits
1. Kitab Arba’in Imam An-Nawawi
2. Kitab Shohih Bukhari
3. Kitab Shohih Muslim
C. Fiqhul Hadits
Dalam hadits diatas kita dapat keterangan bahwa Nabi
SAW membagi segala sesuatu perkara menjadi tiga macam:
Pertama,
perkara yang telah jelas kehalalannya yang tidak ada kesamaran di
dalamnya. Yaitu perkara-perkara telah disebutkan nash tentang kehalalannya,
berarti halal. Seperti firman Allah SWT: " Pada hari ini dihalalkan bagimu
yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu,..." (Al Maidah :5)
Kedua,
perkara-perkara yang jelas keharamannya, yang tidak ada kesamaran di
dalamnya. Yaitu apa-apa yang telah disebutkan nashnya tentang keharamannya.
Segaimana firman Allah SWT: "Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan;,.." (An Nisaa' :23)
Ketiga,
Perkara-perkara syubhat yang tidak jelas hukumnya, apakah dia halal atau
haram. Hukumnya tidak diketahui oleh banyak orang.
Sebagian
ulama membagi syubhat menjadi tiga macam :
1. Sesuatu
yang diketahui manusia sebagai barang haram, namun ragu apakah pengharaman itu
sudah hilang (tidak berlaku) ataukah belum. Misalnya, daging binatang yang
diharamkan bagi seseorang untuk dimakan sebelum disembelih, jika ia meragukan
penyembelihannya. Maka, daging tersebut haram hingga dapat diyakini telah
disembelih. Dasar masalah ini adalah Hadist Ady bin Hatim, disebutkan bahwa ia
berkata, “Ya, Rasulullah, sesungguhnya aku melepas anjing pemburuku dan aku
ucapkan bismillah padanya. Namun, aku dapati ada anjing lain yang melakukan
pemburuan juga menyertai anjing milikku . (bagaimana kami mengambil sikap?).”
Beliau menjawab,”Jangan kau makan (hasil buruan tersebut), karena engkau
hanya mengucapkan basmalah pada anjing buruanmu dan tidak engkau ucapkan
basmalah pada anjing yang lain!” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Kebalikan
dari yang pertama, yaitu bahwa sesuatu itu sebenarnya halal, lalu diragukan
keharamannya. Misalnya, seseorang mempunyai istri kemudian ia
ragu apakah ia telah menalak istrinya atau belum. Hal seperti ini pada dasarnya
adalah mubah (halal) sampai dapat diketahui secara pasti mengenai keharamannya.
Dasar masalah ini adalah hadist dari Imam Bukhari. Dari ‘Abbad bin Tamim dari
pamannya bahwa ia mengadu kepada Rasulullah tentang seseorang yang merasa
seolah ada sesuatu yang telah keluar dari perutnya (kentut) ketika sedang
menunaikan shalat. Lalu, beliau bersabda ,”Janganlah ia berpaling
(menggugurkan shalatnya) sampai benar-benar mendengar suara atau mencium
baunya.”
3. Seseorang
merasa ragu perihal sesuatu apakah halal atau haram. Kedua
kemungkinan ini sama kuatnya dan tidak ada petunjuk yang menguatkan salah
satunya. Hal seperti ini sebaiknya dijauhi. Ini sebagaimana sikap yang diambil
oleh Rasulullah ketika beliau menemukan kurma di rumahnya, maka beliau
bersabda: "Kalau saja aku tidak khawatir (kurma) ini
harta shadaqah, niscaya aku telah memakannya." (Riwayat Bukhari)
Hal ini berbeda dengan
orang-orang melampaui batas dalam hal yang membatalkan sesuatu yang telah jelas
halal karena adanya khayalan atau dugaan-dugaan semata. Seperti orang yang tak
mau menggunakan air bekas dengan dalih takut terkena najis, atau tidak mau
shalat di tempat yang bersih dengan alasan takut kalau ada bekas air kencing yang
telah kering, dan lain sebagainya. Maka sikap semacam ini tidak layak untuk
diikuti. Karena sikap semacam itu merupakan bisikan syetan agar manusia menjadi
ragu (waswasah). Tidak ada kaitannya dengan syubhat sedikitpun.
Usai menerangkan perkara yang syubhat ini, selanjutnya Rasulullah
bersabda, “Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan.” Artinya,
sudah menjadi kebiasaan bahwa raja-raja membuat daerah larangan atau wilayah
penjagaan yang berupa taman-taman atau ladang tumbuh tanaman dan rerumputannya.
“Dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan.” Maksudnya,segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah atas hamba-Nya adalah wilayah penjagaan-Nya. Sebab, Allah melarang mereka untuk masuk kedalamnya.
“Dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan.” Maksudnya,segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah atas hamba-Nya adalah wilayah penjagaan-Nya. Sebab, Allah melarang mereka untuk masuk kedalamnya.
Lalu Rasulullah SAW menjelaskan bahwa di dalam jasad manusia terdapat
mudghah (seukuran daging yang bisa dikunyah orang yang memakannya). Kalau
sepotong daging itu baik, maka baik pula seluruh jasad yang lain. Sebaliknya,
jika sepotong daging itu buruk, maka buruk pula seluruh jasad yang lain. Beliau
menjelaskan hal ini dalam sabda selanjutnya, “ketahuilah ia adalah hati.”
Ini adalah petunjuk bahwa setiap kita harus benar-benar menjaga apa yang ada
dalam hati kita, yaitu hawa nafsu karena ia dapat menjatuhkan dan merusakkan
diri kita sehingga terjerumus dalam perkara haram serta perkara syubhat.
Cara
menyikapi syubhat:
Sesuatu yang telah jelas kehalalannya atau keharamannya, maka jelas pula
bagi kita bagaimana menyikapinya. Karena yang halal tentu saja boleh kita
lakukan sedangkan yang haram harus kita tinggalkan. Oleh karena itu, ketika
syubhat itu bersifat relatif, sebagaimana dijelaskan di atas, maka bagi orang
yang telah mengetahui hakikat suatu perkara apakah termasuk yang halal atau
haram, meskipun perkara itu bagi orang lain termasuk syubhat, dia harus
menyikapinya sesuai dengan hukum yang dia ketahui. Jika haram maka dia
tinggalkan namun jika halal berarti dia boleh mengambilnya.
Adapun bagi orang yang memiliki
kesamaran hukum pada suatu perkara tertentu, maka hadits di atas telah
memberikan bimbingan dan pengarahan yang jelas. Rasulullah SAW bersabda, “Maka
siapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah membersihkan diri untuk
agama dan kehormatannya.”
Sabda Nabi SAW itu merupakan
pengarahan bagi siapa saja yang menghadapi perkara syubhat, untuk
meninggalkannya dan tidak menjerumuskan diri kepadanya, karena perkara syubhat
ini jelas meragukan. Sedangkan dalam hadits lain Rasulullah SAW telah bersabda,
“Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukan.”
(Riwayat at-Tirmidzi dan dia berkata, hadits hasan shahih)
Dan alasan Nabi SAW ketika
mengarahkan kita untuk menjauhi syubhat nampak pada perkataan beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menghindari syubhat itu
berarti dia telah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya.” Yakni,
dengan kita menjauhi syubhat, berarti kita telah berusaha menjaga diri kita
dari perkara yang haram. Sehingga kita berarti telah membersihkan diri dalam
agama, dalam hubungan kita dengan Allah. Dan dengannya kita pun akan terbebas
dari pembicaraan manusia akan kehormatan kita. Karena jika kita melakukan
perkara yang syubhat, banyak orang akan mengatakan fulan melakukan ini dan itu.
Rasulullah SAW juga mengatakan,
“Dan siapa yang terjerumus ke dalam syubhat itu berarti dia terjerumus ke dalam
perkara yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan (binatang
ternaknya) di sekitar daerah terlarang, hampir-hampir dia akan masuk menggembalakan
(binatang ternaknya) di daerah tersebut.” Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam ini dijelaskan oleh para ulama dengan dua kemungkinan makna.
Pertama, orang yang masuk ke
dalam syubhat, berarti dia telah melakukan perkara yang haram. Karena dengan
terjerumusnya dia ke dalam syubhat berarti dia telah melakukan suatu hal yang
tidak didasari dengan ilmu. Dan perbuatan ini jelas diharamkan oleh Allah.
Padahal adanya syubhat padanya menunjukkan bahwa dia tidak memiliki ilmu yang
pasti tentangnya.
Makna kedua, masuknya seseorang
ke dalam syubhat adalah jalan kepada perkara yang haram. Yakni, ketika dia
bermudah-mudah dalam perkara syubhat, dikhawatirkan dia akan terjerumus ke
dalam perkara yang haram dan meremehkannya. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan
ternaknya di sekitar daerah larangan, sangat dikhawatirkan ternaknya akan masuk
ke daerah larangan tersebut.
Apapun kemungkinan maknanya, yang
jelas di sini adalah petunjuk bagi kita untuk meninggalkan segala perkara yang
syubhat, yang meragukan, sehingga kita benar-benar mengetahui hukumnya secara
yakin.
D. Kesimpulan
1.
Termasuk sikap wara’ adalah meninggalkan syubhat.
2.
Banyak melakukan syubhat akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan haram.
3.
Menjauhkan perbuatan dosa kecil karena hal tersebut dapat menyeret seseorang
kepada perbuatan dosa besar.
4.
Memberikan perhatian terhadap masalah hati, karena padanya terdapat kebaikan
fisik.
5.
Baiknya amal perbuatan anggota badan merupakan pertanda baiknya hati.
6.
Pertanda ketakwaan seseorang jika dia meninggalkan perkara-perkara yang
diperbolehkan karena khawatir akan terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan.
7.
Menutup pintu terhadap peluang-peluang perbuatan haram serta haramnya sarana
dan cara kearah sana.
8.
Hati-hati dalam masalah agama dan kehormatan serta tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan persangkaan buruk.
Makalah hadits tarbawi: Halal, Haram, dan Syubhat
4/
5
Oleh
Anonymous