Sunday, October 18, 2015

Makalah psikologi Agama: Tingkah Laku Keagamaan yang Menyimpang

A. Penyebab Terjadinya Penyimpangan Tingkah Laku Keagamaan
Perubahan sikap keagamaan adalah awal proses terjadinya penyimpangan sikap keagamaan pada seseorang, kelompok atau masyarakat. Perubahan sikap diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah walaupun sulit, karenanya perubahan sikap, dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :

a.   Adanya kemampuan lingkungan merekayasa obyek, sehingga menarik perhatian, memberi pengertian dan akhirnya dapat diterima dan dijadikan sebagai sebuah sikap baru.
b.   Terjadinya konversi agama, yakni apabila seseorang menyadari apa yang dilakukannya sebelumnya adalah keliru, maka ia tentu akan mempertimbangkan untuk tetap konsisten dengan sikapnya yang ia sadari keliru. Dan ini memungkinkan seseorang untuk bersikap yang menyimpang dari sikap keagamaan sebelumnya yang ia yakini sebagai suatu kekeliruan tadi.
c.    Penyimpangan sikap keagamaan dapat juga disebabkan karena pengaruh status sosial, dimana mereka yang merubah sikap keagamaan ke arah penyimpangan dari nilai dan norma sebelumnya, karena melihat kemungkinan perbaikan pada status sosialnya.
d.  Penyimpangan sikap keagamaan dari sebelumnya, yaitu jika terlihat sikap yang menyimpang dilakukan seseorang (utamanya mereka yang punya pengaruh besar), ternyata dirasakan punya pengaruh sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat, maka akan dimungkinkan terjadinya integritas sosial untuk menampilkan sikap yang sama, walau pun disadari itu merupakan sikap yang menyimpang dari sikap sebelumnya.

B. Aliran Klenik
Klenik dapat diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan akan hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal (KBRI,1989:409). Dalam kehidupan masyarakat, umumnya klenik ini erat kaitannya dengan praktik perdukunan, hingga sering dikatakan dukun klenik. Dalam kegiatannya dukun ini menggunakan guna-guna atau kekuatan gaib lainnya dalam pengobatan.
Salah satu aspek dari ajaran agama adalah percaya terhadap kekuatan gaib. Bagi penganut agama masalah yang berkaitan dengan hal gaib ini umumnya diterima sebagai suatu bentuk keyakinan yang lebih bersifat emosional, ketimbang rasional. Sisi-sisi yang menyangkut kepercayaan terhadap hal-hal gaib ini tentunya tidak memiliki batas dan indikator yang jelas, karena semuanya bersifat emoosional dan cenderung berada di luar jangkauan nalar. Karena itu tidak jarang dimanipulasi dalm bentuk kemasan yang dihubungkan dengan kepentingan tertentu. Manipulasi melalui kepercayaan agama lebih diterima oleh masyarakat, sebab agama erat dengan sesuatu yang sakral.
Masalah yang menyangkut sesuatu yang gaib dan nilai-nilai sakral keagamman ini dalam kehidupan masyarakat sering pula diturunkan pada pribadi-pribadi tertentu. Proses ini menimbulkan kepercayaan bahwa seseorang dianggap mempunyai kemampuan luar biasa dan dapat berhubungan dengan alam gaib.
Dalam kenyataan di masyarakat praktik yang bersifat klenik memiliki karakteristik yang hampir sama, yaitu:

1.         Pelakunya menokohkan dirinya sebagai orang suci.
2.         Mendakwahkan diri memiliki kemampuan luar biasa.
3.         Ajaran agama sebagai alat untuk menarik kepercayaan masyarakat.
4.         Kebenaran ajarannya tidak dapat dibuktikan secara rasional.
5.         Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat.

C.  Konversi Agama
1.      Pengertian Konversi Agama
Konversi berasal dari kata conversion yang berarti tobat, pindah, berubah. Sehingga convertion berarti berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one religius to another).
Konversi agama banyak menyangkut kepada kejiwaan dan pengaruh lingkungan tempat dimana seseorang berada. Selin itu konversi agama memuat bebrapa pengertian dengan ciri-ciri :
·         Adanya perubahan dan pandang dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya.
·         Perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan sehingga perubahan bisa terjadi secara berproses atau mendadak.
·         Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama keagama lain akan tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang dianautnya sendiri.
·         Selain itu juga faktor yang mnyebabkan perubahan adalah petunjuk dari yang maha kuasa.
Didalam Islam, konversi disebut dengan Murtad, yaitu keluar dari Agama Islam dalam bentuk niat, perkataan, perbuatan yang menyebabkan seseorang menjadi kafir atau tidak beragama sama sekali.  Kemurtadan berarti batalnya nilai religius perbuatan orang yangb bersangkutan. Kembali kepada kekafiran setelah setelah beriman berarti terputusnya hubungan dengan Allah.  Menurut fakih, orang yang telah murtad kehilangan hak perlindungannya. Jika berhasil ditangkap sebelum mengadakan perlawanan. Maka hukumnya wajib dibunuh.
Konversi telah selalu menjadi sebuah topik yang mengemuka, jika tidak membakar emosi kemanusiaan kita. Lagi pula, misionaris mencoba untuk meyakinkan seseorang untuk mengubah keyakinan agamanya yang mana menyangkut masalah- masalah paling utama tentang kehidupan dan kematian, arti penting dari keberadaan kita.
Dan misionaris biasanya merendahkan nilai dari keyakinan seseorang yang sekarang, yang mana bisa dalam bentuk komitmen pribadi yang kuat atau tradisi kebudayaan keluarga yang panjang, menyebutnya lebih rendah, salah, berdosa atau bahkan kekeliruan yang akut.
Pernyataan-pernyataan seperti itu sulit dianggap beradab atau berbudi bahasa dan sering menghina dan merendahkan. Misionaris tidaklah datang dengan sebuah pikiran terbuka untuk suatu diskusi yang tulus dan dialog yang memberi dan menerima, tetapi pikirannya telah berkesimpulan terlebih dahulu dan mencari jalan untuk memperdaya yang lain dengan pandangannya, sering bahkan sebelum ia sendiri tahu apa sebenarnya yang diyakini dan dilakukannya. Adalah sulit untuk membayangkan pertemuan antar manusia yang lebih penuh tekanan terbebas dari kekerasan fisik yang nyata.Kegiatan misionaris selalu memegang kekerasan psikologis yang terkandung didalamnya, bagaimanapun bijaksananya hal itu dilakukan. Ia diarahkan pada pengalihan pikiran dan hati dari orang-orang menjauh dari agama asli mereka kepada suatu agama yang secara umum tidak bersimpati dan bermusuhan dengannya.
2.      Macam- Macam Konversi
Starbuck sebagaimana diungkap kembali oleh Bernard Splika membagi konversi menjadi dua macam, yaitu :
a.      Type volitional (perubahan secara bertahap)
Yaitu konversi yang terjadi secara berproses, sedikit demi sedikit hingga kemudian menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan ruhaniah yang baru.
b.      Type self surrender (perubahan secara drastis)
Yaitu konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami proses tertentu tiba- tiba berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya. Perubahan tersebut dapat terjadi dari kondisi tidak taat menjadi taat, dari tidak kuat keimanannya menjadi kuat keimanannya, dari tidak percaya kepada suatu agama menjadi percaya dan sebagainya.
3.      Faktor- faktor yang menyebabkan konversi
Para ahli sosiologi berpendapat bahwa terjadinya konversi agama disebabkan oleh pengaruh sosial. Dijelaskan oleh Clark, pengaruh- pengaruh tersebut antara lain:
a.      Hubungan antar pribadi, baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat non agama.
b.      Kebiasaan yang rutin.
c.       Anjuran atau propaganda dari orang- orang yang dekat , seperti keluarga, sahabat dan sebagainya.
d.     Pengaruh pemimpin agama
e.      Pengaruh perkumpulan berdasarkan hobi.
f.        Pengaruh kekuasaan pemimpin
4.      Proses Konversi
Proses konversi menurut H. Carrier yaitu :
a.      Terjadi disintegrasi kognitif dan motivasi sebagai akibat krisis yang dialami.
b.      Reintegrasi kepribadian berdasarkan konsepsi yang baru. Dengan adanya reintegrasi ini maka terciptalah kepribadian baru yang berlawanan dengan struktur lama.
c.       Tumbuh sikap menerima konsep agama yang baru serta peranan yang dituntut oleh ajarannya.
d.     Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan yang suci, petunjuk Tuhan.

D. Konflik Agama
Konflik agama sebagai perilaku keagamaan yang menyimpang, dapat terjadi karena adanya “pemasungan” nilai-nilai ajaran agama itu sendiri. Maksudnya, para penganut agama seakan “memaksakan” nilai-nilai ajaran agama sebagai “label” untuk membenarkan tindakan yang dilakukannya. Padahal, apa yang mereka lakukan sesungguhnya bertentangan dengan nila-nilai ajaran agama itu sendiri. Penyimpangan itu oleh adanya sebab dan pengaruh yang melatarbelakanginya.
1.      Pengetahuan Agama yang Dangkal
Secara psikologis, masyarakat awam cenderung mendahulukan emosi ketimbang nalar. Kondisi ini, member peluang bagi masuknya pengaruh-pengaruh negative dari luar yang mengatasnamakan agama. Apabila pengaruh tersebut dapat menimbulkan respon emosional, maka konflik dapat dimunculkan. Tegasnya, mereka yang awam  akan berpeluang diadu-domba.

2.      Fanatisme
Dalam kehidupan masyarakat, ketaatan beragama cenderung dipahami sebagai “pembenaran” yang berlebihan. Pemahaman yang demikian itu akan membawa kepada sikap fanatisme, hingga menganggap agama yang dianutnyalah yang paling benar.
3.      Agama sebagai Doktrin
Ada kecenderungan di masyarakat, bahwa agama dipahami sebagai doktrin yang bersifat normative. Pemahaman yang demikian, membuat ajaran agama menjadi sempit. Hal seperti ini menjurus pada munculnya kelompok-kelompok ekstrem dalam bentuk gerakan sempalan eksklusif. Kondisi seperti itu bagaimana pun akan mengurangi sikap toleran yang dapat mengganggu hubungan antarsesama umat beragama.
4.      Simbol-simbol
Dalam kajian antropologi, agama ditandai oleh keyakinan terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati (supernatural), ajaran, penyampai ajaran, lakon ritual, orang-orang suci, tempat suci, dan benda-benda suci. Walaupun agama bermacam-macam, namun komponen itu didapati disemua agama, dengan demikian, selain merupakan keyakinan, agama juga mengandung symbol-simbol yang oleh penganutnya dinilai sebagai sesuatu yang suci yang perlu dipertahankan.
5.      Tokoh Agama
Sebagai pemimpin agama, dia mampu mengobarkan atau menentramkan emosi keagamaanya pengikutnya. Bila terjadi konflik sosial, yang kebetulan pihak yang terlibat adalah bagian dari penganut agama yang berbeda, maka isu agama mudah masuk. Tidak jarang tokoh agama ikut terpengaruh oleh isu-isu tersebut. Kalaulah hal seperti itu terjadi, maka dikhawatirkan para tokoh agama akan ikut terlibat dalam konflik.
6.      Sejarah
Dalam konteks penyiaran agama, “kufr” sering diaplikasikan sebagai “lawan agama”, atau dipertajam lagi menjadi “musuh agama”. Dalam pandangan seperti ini, maka golongan yang tidak beriman menjadi abash untuk diperangi.
Latar belakang sejarah agama, umumnya menimpan kasus-kasus seperti ini. Terkadang oleh pandangan yang ekstrem yang seperti itu, pertumpahan darah sering terjadi. Dalam kasus sosial, kadang-kadang muatan sejarah keagamaan ini lagi-lagi dimunculkan, hingga dapat menyulut terjadinya konflik.
7.      Berebut Surga
Setiap agama mengajarkan kepercayaan akan adanya kehidupan abadi setelah kematian, yaitu surge dan neraka. Semua manusia pasti berharap akan masuk surge. Dalam upaya memperoleh “tiket” surge, seseorang meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadahnya.
Sayangnya dalam kehidupan beragama, sering terjadi kebalikannya. Peta dan kenikmatan surgawi diperebutkan dengan mengorbankan kelompok lain. Ada kecenderungan mendeskreditkan orang atau kelompok lain. Barangkali usaha untuk memperebutkan akan surge akan timbul bukan saja di dalam kelompok penganut agama yang berbeda, tetapi juga bisa terjadi dalam kelompok seagama. Bila pandangan seperti ini meningkat pada klaim sepihak, maka konflik pun tidak akan dapat dihindarkan. Paling tidak akan menumbuhkan rasa permusuhan.


E.     Terorisme dan Agama
Terorisme berasal dari kata terror, yang secara etimologis mencakup arti: 1. Perbuatan (pemerintah dan sebagainya) yang sewenang-wenang (kejam, bengis, dan sebagainya); 2. Usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Sedangkan terorisme berarti penggunaan kekerasan atau menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan, terutama tujuan politik. Jadi, terorisme mungkin dilakukan oleh siapa saja, baik pemerintah, golongan atau perorangan.
Memang secara definitif, tampaknya belum ada rumusan yang dsepakati, apa yang dimaksud dengan terorisme. Namun, untuk sekedar member gambaran mengenai hal itu, barangkali dapat dirujuk pendapat yang dikemukakan oleh Smit dan jungman. Menurut mereka terorisme adalah tindakan yang dengan sengaja menggunakan atau mengancam menggunakan kekerasan terhadap sipil atu sasara sipil untuk mencapai tujuan politik. Smith dan jungman dalam definisinyalebih menekankan pada cara, sasaran, dan tujuan. Tidak pada subjeknya. Hal ini member kesan, bahwa terorisme dapat dilakukan oleh siapa saja. Adapun yang penting di dalamnya termuat indikasi berupa: perbuatan sengaja (direncanakan, sistematik, dan teroganisasi), penggunaan kekerasan (ancaman, langsung), sasaran (sipil, non-militer), dan tujuannya terkait dengan kepentingan politik.

F.       Fatalisme
      Dalam kenyataan, umumnya nilai-nilai ajaran agama sering “dimanipulasi” hingga melahirkan pemeluk yang fatalis (berserah kepada nasib). Informasi wahyu dan risalah kerasulan direduksi maknanya menjadi sebaliknya, sampai-sampai para pemeluknya terbentuk menjadi kelompok yang nrimo. Mereka dibiasakan untuk menerima keadaan sebagai “gambaran nasib” yang sudah ditentukan dari “atas”.
      Secara psikologis, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya fatalism, yakni:
1.      Pemahaman agama yang keliru
Sebagai manusia biasa, para agamawan memiliki latar belakang sosio-kultural, tingkat pendidikan, maupun kapasitas yang berbeda. Dalam kondisi seperti itu terbuka peluang timbulnya “salah tafsir” dalam memahami pesan-pesan dalam kitab suci maupun risalah rasul.
2.      Otoritas Agamawan
Dalam komunitas agama selalu ada pemimpin agamayang jadi panutan masyarakat pemeluknya. Popularitas yang dicapai sering dianggap sebagai sukses diri pribadi ini harus senantiasa dipertahankan dan bila perlu ditingkatkan lagi.
Dalam kondisi seperti ini terkadang dengan menggunakan otoritas yang berlebihan, pemimpin agama terjebak kepada upaya untuk memitoskan ajaran agama. Ajaran agama dijadikan alat untuk “menyihir” pengikutnya. Kata-kata yang dikeluarkan harus dianggap sebagai fatwa yang bila dilanggar akan berakibat buruk. Sebaliknya “disuburkan” pula janji-janji “surgawi” yang muluk sebagai ganjaran yang diperuntukkan kepada mereka yang patuh dan taat. Pemimpin agama berusaha menciptakan situasi psikologis pengikutnya hingga terbentuknya sikap penurut.


Related Posts

Makalah psikologi Agama: Tingkah Laku Keagamaan yang Menyimpang
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.