Perubahan sikap keagamaan adalah awal proses
terjadinya penyimpangan sikap keagamaan pada seseorang, kelompok atau
masyarakat. Perubahan sikap diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh
lingkungan, maka sikap dapat diubah walaupun sulit, karenanya perubahan sikap, dapat disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain :
a.
Adanya kemampuan lingkungan merekayasa obyek,
sehingga menarik perhatian, memberi pengertian dan akhirnya dapat diterima dan
dijadikan sebagai sebuah sikap baru.
b. Terjadinya
konversi agama, yakni apabila seseorang menyadari apa yang dilakukannya
sebelumnya adalah keliru, maka ia tentu akan mempertimbangkan untuk tetap
konsisten dengan sikapnya yang ia sadari keliru. Dan ini memungkinkan seseorang
untuk bersikap yang menyimpang dari sikap keagamaan sebelumnya yang ia yakini
sebagai suatu kekeliruan tadi.
c. Penyimpangan
sikap keagamaan dapat juga disebabkan karena pengaruh status sosial, dimana
mereka yang merubah sikap keagamaan ke arah penyimpangan dari nilai dan norma
sebelumnya, karena melihat kemungkinan perbaikan pada status sosialnya.
d. Penyimpangan
sikap keagamaan dari sebelumnya, yaitu jika terlihat sikap yang menyimpang
dilakukan seseorang (utamanya mereka yang punya pengaruh besar), ternyata
dirasakan punya pengaruh sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat,
maka akan dimungkinkan terjadinya integritas sosial untuk menampilkan sikap
yang sama, walau pun disadari itu merupakan sikap yang menyimpang dari sikap
sebelumnya.
B. Aliran
Klenik
Klenik dapat
diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan akan hal-hal yang
mengandung rahasia dan tidak masuk akal (KBRI,1989:409). Dalam kehidupan
masyarakat, umumnya klenik ini erat kaitannya dengan praktik perdukunan, hingga
sering dikatakan dukun klenik. Dalam kegiatannya dukun ini menggunakan
guna-guna atau kekuatan gaib lainnya dalam pengobatan.
Salah satu
aspek dari ajaran agama adalah percaya terhadap kekuatan gaib. Bagi penganut
agama masalah yang berkaitan dengan hal gaib ini umumnya diterima sebagai suatu
bentuk keyakinan yang lebih bersifat emosional, ketimbang rasional. Sisi-sisi
yang menyangkut kepercayaan terhadap hal-hal gaib ini tentunya tidak memiliki
batas dan indikator yang jelas, karena semuanya bersifat emoosional dan cenderung
berada di luar jangkauan nalar. Karena itu tidak jarang dimanipulasi dalm
bentuk kemasan yang dihubungkan dengan kepentingan tertentu. Manipulasi melalui
kepercayaan agama lebih diterima oleh masyarakat, sebab agama erat dengan
sesuatu yang sakral.
Masalah yang
menyangkut sesuatu yang gaib dan nilai-nilai sakral keagamman ini dalam
kehidupan masyarakat sering pula diturunkan pada pribadi-pribadi tertentu.
Proses ini menimbulkan kepercayaan bahwa seseorang dianggap mempunyai kemampuan
luar biasa dan dapat berhubungan dengan alam gaib.
Dalam
kenyataan di masyarakat praktik yang bersifat klenik memiliki karakteristik
yang hampir sama, yaitu:
1.
Pelakunya menokohkan dirinya sebagai orang suci.
2.
Mendakwahkan diri memiliki kemampuan luar biasa.
3.
Ajaran agama sebagai alat untuk menarik
kepercayaan masyarakat.
4.
Kebenaran ajarannya tidak dapat dibuktikan
secara rasional.
5.
Memiliki tujuan tertentu yang cenderung
merugikan masyarakat.
C. Konversi
Agama
1.
Pengertian Konversi Agama
Konversi
berasal dari kata conversion yang berarti tobat, pindah, berubah.
Sehingga convertion berarti berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or
from one religius to another).
Konversi
agama banyak menyangkut kepada kejiwaan dan pengaruh lingkungan tempat dimana
seseorang berada. Selin itu konversi agama memuat bebrapa pengertian dengan
ciri-ciri :
·
Adanya
perubahan dan pandang dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan
yang dianutnya.
·
Perubahan
yang terjadi dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan sehingga perubahan bisa terjadi
secara berproses atau mendadak.
·
Perubahan
tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama
keagama lain akan tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang
dianautnya sendiri.
·
Selain
itu juga faktor yang mnyebabkan perubahan adalah petunjuk dari yang maha kuasa.
Didalam Islam, konversi disebut dengan Murtad,
yaitu keluar dari Agama Islam dalam bentuk niat, perkataan, perbuatan yang
menyebabkan seseorang menjadi kafir atau tidak beragama sama sekali.
Kemurtadan berarti batalnya nilai religius perbuatan orang yangb bersangkutan.
Kembali kepada kekafiran setelah setelah beriman berarti terputusnya hubungan
dengan Allah. Menurut fakih, orang yang telah murtad kehilangan hak perlindungannya.
Jika berhasil ditangkap sebelum mengadakan perlawanan. Maka hukumnya wajib dibunuh.
Konversi telah selalu menjadi sebuah topik yang
mengemuka, jika tidak membakar emosi kemanusiaan kita. Lagi pula, misionaris
mencoba untuk meyakinkan seseorang untuk mengubah keyakinan agamanya yang mana
menyangkut masalah- masalah paling utama tentang kehidupan dan kematian, arti
penting dari keberadaan kita.
Dan misionaris biasanya merendahkan nilai dari
keyakinan seseorang yang sekarang, yang mana bisa dalam bentuk komitmen pribadi
yang kuat atau tradisi kebudayaan keluarga yang panjang, menyebutnya lebih
rendah, salah, berdosa atau bahkan kekeliruan yang akut.
Pernyataan-pernyataan seperti itu sulit dianggap
beradab atau berbudi bahasa dan sering menghina dan merendahkan. Misionaris
tidaklah datang dengan sebuah pikiran terbuka untuk suatu diskusi yang tulus
dan dialog yang memberi dan menerima, tetapi pikirannya telah berkesimpulan
terlebih dahulu dan mencari jalan untuk memperdaya yang lain dengan pandangannya,
sering bahkan sebelum ia sendiri tahu apa sebenarnya yang diyakini dan
dilakukannya. Adalah sulit untuk membayangkan pertemuan antar manusia yang
lebih penuh tekanan terbebas dari kekerasan fisik yang nyata.Kegiatan
misionaris selalu memegang kekerasan psikologis yang terkandung didalamnya,
bagaimanapun bijaksananya hal itu dilakukan. Ia diarahkan pada pengalihan
pikiran dan hati dari orang-orang menjauh dari agama asli mereka kepada suatu
agama yang secara umum tidak bersimpati dan bermusuhan dengannya.
2.
Macam- Macam Konversi
Starbuck
sebagaimana diungkap kembali oleh Bernard Splika membagi konversi menjadi dua
macam, yaitu :
a.
Type volitional (perubahan secara bertahap)
Yaitu
konversi yang terjadi secara berproses, sedikit demi sedikit hingga kemudian menjadi
seperangkat aspek dan kebiasaan ruhaniah yang baru.
b.
Type self surrender (perubahan secara drastis)
Yaitu
konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami proses
tertentu tiba- tiba berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya.
Perubahan tersebut dapat terjadi dari kondisi tidak taat menjadi taat, dari
tidak kuat keimanannya menjadi kuat keimanannya, dari tidak percaya kepada
suatu agama menjadi percaya dan sebagainya.
3.
Faktor- faktor yang menyebabkan konversi
Para ahli
sosiologi berpendapat bahwa terjadinya konversi agama disebabkan oleh pengaruh
sosial. Dijelaskan
oleh Clark, pengaruh- pengaruh tersebut antara lain:
a. Hubungan
antar pribadi, baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat non
agama.
b. Kebiasaan
yang rutin.
c. Anjuran atau
propaganda dari orang- orang yang dekat , seperti keluarga, sahabat dan
sebagainya.
d. Pengaruh
pemimpin agama
e. Pengaruh
perkumpulan berdasarkan hobi.
f.
Pengaruh kekuasaan pemimpin
4.
Proses Konversi
Proses konversi menurut H. Carrier yaitu :
a. Terjadi
disintegrasi kognitif dan motivasi sebagai akibat krisis yang dialami.
b. Reintegrasi
kepribadian berdasarkan konsepsi yang baru. Dengan adanya reintegrasi ini maka
terciptalah kepribadian baru yang berlawanan dengan struktur lama.
c. Tumbuh sikap
menerima konsep agama yang baru serta peranan yang dituntut oleh ajarannya.
d. Timbul
kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan yang suci, petunjuk
Tuhan.
D. Konflik Agama
Konflik agama sebagai perilaku keagamaan yang
menyimpang, dapat terjadi karena adanya “pemasungan” nilai-nilai ajaran agama
itu sendiri. Maksudnya, para penganut agama seakan “memaksakan” nilai-nilai
ajaran agama sebagai “label” untuk membenarkan tindakan yang dilakukannya.
Padahal, apa yang mereka lakukan sesungguhnya bertentangan dengan nila-nilai
ajaran agama itu sendiri. Penyimpangan itu oleh adanya sebab dan pengaruh yang
melatarbelakanginya.
1.
Pengetahuan Agama yang Dangkal
Secara psikologis, masyarakat awam cenderung
mendahulukan emosi ketimbang nalar. Kondisi ini, member peluang bagi masuknya
pengaruh-pengaruh negative dari luar yang mengatasnamakan agama. Apabila
pengaruh tersebut dapat menimbulkan respon emosional, maka konflik dapat
dimunculkan. Tegasnya, mereka yang awam
akan berpeluang diadu-domba.
2.
Fanatisme
Dalam kehidupan masyarakat, ketaatan beragama
cenderung dipahami sebagai “pembenaran” yang berlebihan. Pemahaman yang
demikian itu akan membawa kepada sikap fanatisme, hingga menganggap agama yang
dianutnyalah yang paling benar.
3.
Agama sebagai Doktrin
Ada kecenderungan di masyarakat, bahwa agama
dipahami sebagai doktrin yang bersifat normative. Pemahaman yang demikian,
membuat ajaran agama menjadi sempit. Hal seperti ini menjurus pada munculnya
kelompok-kelompok ekstrem dalam bentuk gerakan sempalan eksklusif. Kondisi
seperti itu bagaimana pun akan mengurangi sikap toleran yang dapat mengganggu
hubungan antarsesama umat beragama.
4.
Simbol-simbol
Dalam kajian antropologi, agama ditandai oleh
keyakinan terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati (supernatural), ajaran,
penyampai ajaran, lakon ritual, orang-orang suci, tempat suci, dan benda-benda
suci. Walaupun agama bermacam-macam, namun komponen itu didapati disemua agama,
dengan demikian, selain merupakan keyakinan, agama juga mengandung symbol-simbol
yang oleh penganutnya dinilai sebagai sesuatu yang suci yang perlu
dipertahankan.
5.
Tokoh Agama
Sebagai pemimpin agama, dia mampu mengobarkan atau
menentramkan emosi keagamaanya pengikutnya. Bila terjadi konflik sosial, yang
kebetulan pihak yang terlibat adalah bagian dari penganut agama yang berbeda,
maka isu agama mudah masuk. Tidak jarang tokoh agama ikut terpengaruh oleh
isu-isu tersebut. Kalaulah hal seperti itu terjadi, maka dikhawatirkan para
tokoh agama akan ikut terlibat dalam konflik.
6.
Sejarah
Dalam konteks penyiaran agama, “kufr” sering
diaplikasikan sebagai “lawan agama”, atau dipertajam lagi menjadi “musuh
agama”. Dalam pandangan seperti ini, maka golongan yang tidak beriman menjadi
abash untuk diperangi.
Latar belakang sejarah agama, umumnya menimpan
kasus-kasus seperti ini. Terkadang oleh pandangan yang ekstrem yang seperti
itu, pertumpahan darah sering terjadi. Dalam kasus sosial, kadang-kadang muatan
sejarah keagamaan ini lagi-lagi dimunculkan, hingga dapat menyulut terjadinya
konflik.
7.
Berebut Surga
Setiap agama mengajarkan kepercayaan akan adanya
kehidupan abadi setelah kematian, yaitu surge dan neraka. Semua manusia pasti
berharap akan masuk surge. Dalam upaya memperoleh “tiket” surge, seseorang
meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadahnya.
Sayangnya dalam kehidupan beragama, sering terjadi
kebalikannya. Peta dan kenikmatan surgawi diperebutkan dengan mengorbankan
kelompok lain. Ada kecenderungan mendeskreditkan orang atau kelompok lain. Barangkali
usaha untuk memperebutkan akan surge akan timbul bukan saja di dalam kelompok
penganut agama yang berbeda, tetapi juga bisa terjadi dalam kelompok seagama.
Bila pandangan seperti ini meningkat pada klaim sepihak, maka konflik pun tidak
akan dapat dihindarkan. Paling tidak akan menumbuhkan rasa permusuhan.
E.
Terorisme dan Agama
Terorisme berasal dari
kata terror, yang secara etimologis mencakup arti: 1. Perbuatan (pemerintah dan
sebagainya) yang sewenang-wenang (kejam, bengis, dan sebagainya); 2. Usaha
menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.
Sedangkan terorisme berarti penggunaan kekerasan atau menimbulkan ketakutan
dalam usaha mencapai tujuan, terutama tujuan politik. Jadi, terorisme mungkin
dilakukan oleh siapa saja, baik pemerintah, golongan atau perorangan.
Memang secara definitif,
tampaknya belum ada rumusan yang dsepakati, apa yang dimaksud dengan terorisme.
Namun, untuk sekedar member gambaran mengenai hal itu, barangkali dapat dirujuk
pendapat yang dikemukakan oleh Smit dan jungman. Menurut mereka terorisme
adalah tindakan yang dengan sengaja menggunakan atau mengancam menggunakan kekerasan
terhadap sipil atu sasara sipil untuk mencapai tujuan politik. Smith dan
jungman dalam definisinyalebih menekankan pada cara, sasaran, dan tujuan. Tidak
pada subjeknya. Hal ini member kesan, bahwa terorisme dapat dilakukan oleh
siapa saja. Adapun yang penting di dalamnya termuat indikasi berupa: perbuatan
sengaja (direncanakan, sistematik, dan teroganisasi), penggunaan kekerasan
(ancaman, langsung), sasaran (sipil, non-militer), dan tujuannya terkait dengan
kepentingan politik.
F.
Fatalisme
Dalam
kenyataan, umumnya nilai-nilai ajaran agama sering “dimanipulasi” hingga
melahirkan pemeluk yang fatalis (berserah kepada nasib). Informasi wahyu dan
risalah kerasulan direduksi maknanya menjadi sebaliknya, sampai-sampai para
pemeluknya terbentuk menjadi kelompok yang nrimo. Mereka dibiasakan
untuk menerima keadaan sebagai “gambaran nasib” yang sudah ditentukan dari
“atas”.
Secara
psikologis, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya fatalism,
yakni:
1.
Pemahaman agama yang keliru
Sebagai manusia biasa, para agamawan memiliki latar
belakang sosio-kultural, tingkat pendidikan, maupun kapasitas yang berbeda.
Dalam kondisi seperti itu terbuka peluang timbulnya “salah tafsir” dalam
memahami pesan-pesan dalam kitab suci maupun risalah rasul.
2.
Otoritas Agamawan
Dalam komunitas agama selalu ada pemimpin agamayang
jadi panutan masyarakat pemeluknya. Popularitas yang dicapai sering dianggap
sebagai sukses diri pribadi ini harus senantiasa dipertahankan dan bila perlu
ditingkatkan lagi.
Dalam kondisi seperti ini terkadang dengan
menggunakan otoritas yang berlebihan, pemimpin agama terjebak kepada upaya
untuk memitoskan ajaran agama. Ajaran agama dijadikan alat untuk “menyihir”
pengikutnya. Kata-kata yang dikeluarkan harus dianggap sebagai fatwa yang bila
dilanggar akan berakibat buruk. Sebaliknya “disuburkan” pula janji-janji
“surgawi” yang muluk sebagai ganjaran yang diperuntukkan kepada mereka yang
patuh dan taat. Pemimpin agama berusaha menciptakan situasi psikologis
pengikutnya hingga terbentuknya sikap penurut.
Makalah psikologi Agama: Tingkah Laku Keagamaan yang Menyimpang
4/
5
Oleh
Anonymous