Lembaga menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah
bakal dari sesuatu, asal mula yang akan menjadi sesuatu, bakal, bentuk, wujud,
rupa, acuan, ikatan, badan atau organisasi yang mempunyai tujuan jelas terutama
dalam bidang keilmuan.
Menurut ensiklopedi Indonesia,
lembaga pendidikan yaitu suatu wadah pendidikan yang dikelola demi mencapai
hasil pendidikan yang diinginkan.
Badan pendidikan sesungguhnya termasuk pula dalam alat-alat pendidikan, jadi
badan/ lembaga pendidikan yaitu organisasi atau kelompok manusia yang karena
sesuatu dan lain hal memikul tanggung jawab atas terlaksananya pendidikan agar
proses pendidikan dapat berjalan dengan wajar.
Secara terminology lembaga pendidikan Islam adalah suatu wadah, atau tempat
berlangsungnya proses pendidikan Islam, lembaga pendidikan itu mengandung
konkirit berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian yang abstrak, dengan
adanya norma- norma dan peraturan- peraturan tertentu, serta penanggung jawab
pendidikan itu sendiri.
Pendidikan islam
termasuk masalah sosial, sehingga dalam kelembagaannya tidak lepas dari
lembaga-lembaga sosial yang ada. Lemmbga juga disebut institusi atau pranata.
Maksud lembaga sosial adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relative
tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan dan relasi yang terarah
dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna
tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.[1]
Secara
konsep, lembaga sosial tersebut terdiri atas tiga bagian, yaitu: (1) asosiasi,
misalnya universitas atau persatuan, (2) organisasi khusus, misalnya penjara,
rumah sakit dan sekolah, (3) pola tingkah laku yang telah menjadi kebiasaan,
atau pola hubungan sosial yang mempunyai tujuan tertentu.[2]
Dalam islam, pola tingkah laku yang telah melembaga pada jiwa setiap individu
muslim mempunyai dua bagian, yaitu lembaga yang tidak dapat berubah dan lembaga
yang dapat berubah.
a. Lembaga yang Tidak Dapat Berubah
1. Rukun iman, lembaga kepercayaan
manusia kepada Tuhan, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan takdir.
2. Ikrar keyakinan (bacaan syahadat),
lembaga yang merupakan pernyataan atas kepercayaan manusia.
3. Thaharah, penyucian manusia dari
segala kotoran lahir dan batin.
4. Shalat.
5. Zakat.
6. Puasa.
7. Haji.
8. Ihsan, lembaga meningkatkan amal dan
ibadah manusia.
9. Ikhlas, lembaga pendidikan rasa dan
budi sehingga tercapai suatu kondisi kenikmatan dalam beribadah dan beramal.
10. Takwa, cara untuk membedakan tingkat
dan derajat.
b. Lembaga yang Dapat Berubah
1. Ijtihad, upaya yang sungguh-sungguh
dalam merumuskan suatu keputusan masalah.
2. Fikih, lembaga hukum islam yang
dupayakan oleh manusia melalui lembaga ijtihad.
3. Akhlak.
4. Lembaga ekonomi.
5. Lembaga pergaulan sosial.
6. Lembaga politik.
7. Lembaga seni.
8. Lembaga Negara.
9. Lembaga IPTEK.
10. Lembaga pendidikan.
Jadi,
lembaga pendidikan islam adalah suatu bentuk organisasi yang diadakan untuk
mengembangkan lembaga-lembaga sosial, baik yang permanen maupun yang
berubah-ubah.
B. Prinsip-prinsip Lembaga Pendidikan
Islam
1. Prinsip pembebasan manusia dari
ancaman kesesatan yang menjerumuskan manusia pada api neraka. (Q.S. at-tahrim:
6)
2. Prinsip pembinaan umat manusia
menjadi hamba-hamba Allah yang memiiki
keselarasan dan keseimbangan hidup bahagia dunia akhirat, sebagai
realisasi cita-cita bagi orang yang beriman dan bertakwa. (Q.S. al-baqarah: 201,
al-qashash: 77)
3. Prinsip pembentukkan pribadi manusia
yang memancarkan sinar keimanan yang kaya dengan ilmu pengetahuan, yang satu
sama lain saling mengembangkan hidupnya umtuk menghambakan diri pada Khaliknya.
(Q.S. al-Mujadilah: 11).[3]
4. Prinsip amar ma’ruf dan nahi munkar
dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kenistaan. (Q.S. ali Imran: 104,
110)
5. Prinsip pengembangan daya fikir, daya
nalar, daya rasa sehingga dapat menciptakan anak didik yang kreatif dan dapat
memfungsikan daya cipta, rasa dan karsanya.
C. Tanggung Jawab Lembaga Pendidikan
Islam
Seorang ahli filsafat antropologi
dan fenomenologi bernama Langeveld, menyatakan bahwa yang bertanggung jawab
atas penyelenggaraan pendidikan adalah:
1. Lembaga Keluarga yang mempunyai
wewenang bersifat kodrati.
2. Lembaga Negara yang mempunyai wewenang
berdasarkan undang-undang.
3. Lembaga Gereja yang mempunyai wewenang
berasal dari amanat Tuhan.
Sebaliknya, Ki Hajar
Dewantara (RM Soewardi Soerjaningrat) memfokuskan penyelenggara lembaga
pendidikan dengan “Tricentra” yang merupakan tempat pergaulan anak didik dan
sebagai pusat pendidikan yang amat penting baginya. Tricentra itu ialah:
a. Alam Keluarga yang membentuk lembaga
pendidikan keluarga.
b. Alam Perguruan yang membentuk
lembaga pendidikan sekolah.
c. Alam Pemuda yang membentuk lembaga
masyarakat.
Menurut Sidi Gazabla, yang berkewajiban menyelenggarakan lembaga pendidikan
adalah:
1) Rumah Tangga, yaitu pendidikan primer untuk fase bayi dan fase
kanak-kanak sampai usia sekolah. Pendidiknya adalah orang tua, sanak kerabat,
famili, saudara-saudara,teman sepermainan dan kenalan pergaulan.
2) Sekolah, yaitu pendidikan sekunder yang mendidik
anak mulai dari usia masuk sekolah sampai ia keluar dari sekolah tersebut.
Pendidiknya adalah guru yang profesional.
3) Kesatuan Sosial, yaitu pendidik tertier yang merupakan
pendidikan yang terakhir tetapi bersifat permanen. Pendidiknya adalah
kebudayaan, adat- istiadat, suasana masyarakat setempat.
D. Keluarga sebagai Lembaga Pendidikan
Islam
Menurut
al-Nahlawi, kewajiban orang tua dalam pendidikan anak-anaknya adalah: (1)
menegakkan hukum-hukum Allah SWT pada anaknya, (2) merealisasikan ketentraman
dan kesejahteraan jiwa keluarga, (3) melaksanakan perintah agama dan perintah
Rasulullah SAW, (4) mewujudkan rasa cinta kepada anak-anak melalui pendidikan.
Dasar-dasar
pendidikan yang diberikan kepada anak didik dari orang tuanya adalah: (1) dasar
pendidikan budi pekerti, (2) dasar pendidikan sosial; melatih anak dalam tat
cara bergaul yang baik terhadap lingkungannya, (3) dasar pendidikan intelek,
(4) dasar pembentukkan kebiasaan; membiaakan kepadaa anaknya agar hidup bersih,
teratur, tertib, disiplin, rajin yang dilaksanakan secara berangsur-angsur
tanpa paksaan, (5) dasar pendidikan kewarganegaraan; memberikan norma
nasionalisme dan patriotism, cinta tanah air daan berperikemanusiaan yang
tinggi,[4]
(6) dasar pendidikan agama; melatih dan mambiasakan ibadah kepada Allah SWT.
Hasil
pendidikan yang disampaikan oleh ayah dan ibu memiliki corak yang berbeda.
Perbedaan itu ialah:
1. Ayah
Ayah
merupakan sumber kekuasaan yang memberikan pendidikan anaknya tentang manajemen
dan kepemimpinan, memberikan perasaan aman dan perlindungan, sehingga ayah
memberikan pendidikan sikap yang bertanggung jawab dan waspada. Ayah memberikan
pendidikan berupa sikap tegas, berlaku rasional sehingga menghasilkan
kecerdasan intelektual.
2. Ibu
Ibu
sebagai sumber kasih saying yang memberikan pendidikan sifat ramah tamah, asah,
asih, dan asuh kepada anaknya, menciptakan suasana dinamis dan harmonis, dan
sebagai pendidik bidang emosi anak yang dapat mendidik anaknya berupa kepekaan
daya rasa dalam memandang sesuatu, yang melahirkan kecerdasan emosional.
E. Masjid sebagai Lembaga Pendidikan
Islam
Secara
harfiah, masjid adalah “tempat untuk bersujud”. Secara terminology, masjid
adalah tempat khusus untuk melakukan aktivitas ibadah dalam arti luas.
Dewasa
ini, fungsi masjid mulai menyempit, tidak sebagaimana zaman Nabi Muhammad SAW.
Hal itu terjadi karena lembaga sosial keagamaan semakin memadat, sehingga
masjid terkesan sebagai tempat sholat saja. Pada mulanya, masjid merupakan
sentral kebudayaan Islam, pusat organisasi kemasyarakatan, pusat pendidikan,
dan pusat pemukiman, serta tempat ibadah dan i’tikaf.[5]
Implikasi
masjid sebagai lembaga pendidikan islam adalah: (1) mendidik anak untuk tetap
beribadah kepada Allaah SWT, (2) Menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan
dan menanamkan solidaritas, mentadarkan hak dan kewajiban sebagai insane
pribadi, sosial dan warga Negara, (3) memberikan rasa ketentraman, kekuatan,
dan kemakmuran potensi-potensi rohani manusia melalui pendidikan kesabaran,
perenungan, optimisme, dan mengadakan penelitian.
F. Pondok Pesantren sebagai Lembaga
Pendidikan Islam
Kehadiran
kerajaan Bani Umayyah menjadikan pesatnya ilmu pengetahuan, sehingga anak-anak
masyarakat islam tidak hanya belajar di masjid tetapi juga pada lembaga-lembaga
yang ketiga, yaitu “kuttab” (pondok pesantren).
Di Indonesia, istilah
kuttab lebih dikenal dengan istilah “pondik pesantren”, yaitu suatu lembaga
pendidikan islam, yang di dalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang
mengajar dan mendidik para santri (peserta didik) dengan sarana masjid untuk
menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung dengan adanya pemondokkan
atau asrama sebagai tempat tinggal santri.
Tujuan
terbentuknya pondok pesantren[6]
adalah: (1) tujuan umum, yaitu membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang
berkpribadian Islam, yang dengan ilmunya
dia dapat menjadi mubaligh dalam masyarakat sekitar, (2) tujuan Khusus, yaitu
mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang
diajarkan oleh kiai dan mendakwahkannya dalam masyarakat.
Sebagai
lembaga yang tertua, sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki model-model
pengajaran:
1. Metode wetonan (halaqah). Kiai
membacakan kitab, para santri juga menyimak bacaan kiai pada kitab
masing-masing.
2. Metode sorogan. Metode yang santrinya
cukup pandai men-sorog-kan (mengajukan) sebuah kitab pada kiai untuk dibaca
dihadapannya, kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenarkan oleh kiai.
Pada
tahap selanjutnya, pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai
lembaga pendidikan islam yang mumpuni, yaitu di dalamnya didirikan sekolah,
baik formal ataupun nonformal. Akhir-akhir ini pondok pesantren melakukan
beberapa inovasi, yaitu: (1) mulai akrab dengan metodologi modern, (2) terbuka
atas perkembangan di luar dirinya, (3) diversifikasi program dan kegiatan makin
terbuka, sekaligus membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar
mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja, (4)
berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.
G. Madrasah sebagai Lembaga Pendidikan
Islam
Madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam muncul dari penduduk “Nisapur” tetapi tersiarnya melalui
menteri Saljuqi yang bernama “Nizam Am-Mulk” yang mendirikan madrasah Nizomiyah
(th 1065). Selanjutnya Gibb dan Krames menuturkan bahwa pendiri madrasah
terbesar setelah Nizam Al-Mulk adalah Shalahuddin Al-Ayyuni.
Kehadiran madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam setidak-tidaknya mempunyai empat latar belakang, yaitu
:
1. Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan
sistem pendidikan Islam.
2. Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren kearah suatu sistem
pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama
dengan sekolah umum.
3. Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam,
khususnya santri yang terpukau pada barat sebagai sistem pendidikan mereka.
4. Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional
yang dilakukan oleh pesantren disistem pendidikan modern dari hasil akulturasi.
H. Tantangan Lembaga Pendidikan Islam dalam Transformasi Sosial Budaya
Transformasi sosial budaya
berarti modifikasi dalam setiap aspek proses sosial budaya, pola sosial budaya,
bentuk-bentuk sosial budaya. Perubahan ini bersifat progresif dan regresif,
berencana dan tidak, permanen dan sementara, undirectional dan
multidirectional, menguntungkan dan merugikan.
Bentuk-bentuk transformasi sosial
budaya dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Evolusi Sosial (Sosial
Evolution)
Perkembangan gradual, yaitu
perkembangan wajar karena adanya kerja sama yang harmonis antara manusia dan
lingkungannya. Perubahan ini dibedakan atas :
a. Evolusi Kosmis (Cosmis Evolution), yaitu perubahan alamai
yang tumbuh berkembang, mundur lalu pudar.
b. Evolusi Organis (Organic Evolution), yaitu perubahan
untuk mempertahankan diri dari kebutuhannya dalam lingkungan yang berkembang.
c. Evolusi Mental (Mental Evolution) yaitu menyangkut perubahan
pandangan dan sikap hidup.
2. Gerakan Sosial (Sosial
Mobility)
Suatu keinginan akan perubahan
yang diorganisasikan karena dorongan masyarakat ingin hidup dalam keadaan yang
lebih baik dan lebih cocok dengan keinginannya.
3. Revolusi Sosial (Sosial
Revolution)
Suatu perubahan paksaan yang
umumnya didahului oleh ketidakpuasan yang menumpuk tanpa pemecahan dan
analisis, sehingga jurang antara harapan dan pemenuh kebutuhan menjadi semakin
lebar tak terjembatani.
Bentuk-bentuk tantangan yang
dihadapi dalam pendidikan Islam adalah :
a. Politik
Kehidupan politik khususnya
politik negara banyak berkaitan dengan masalah cara negara itu membimbing,
mengarahkan dan mengembangkan kehidupan bangsa jangka panjang. Suatu lembaga
pendidikan yang tidak bersedia mengikuti politik negara, akan mendapatkan
tekanan (presure) terhadap cita-cita kelembagaan dari politik tersebut.
b. Kebudayaan
Suatu perkembangan kebudayaan
dalam abad modern saat ini tidak dapat terhindar dari pengaruh kebudayaan
bangsa lain. Kondisi semacam ini menyebabkan proses akulturasi, yaitu faktor
nilai yang mendasari kebudayaannya sendiri sangat menentukan
keeksistensian kebudayaan tersebut. Dalam menghadapi hal yang tidak diinginkan,
dibutuhkan sikap kreatif dan wawasan pengetahuan yang dapat menjangkau masa
depan bagi eksistensi kebudayaan dan kehidupannya.
c. Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
Teknologi sebagai ilmu terapan
merupakan hasil kemajuan kebudayaan manusia, yang banyak bergantung pada
manusia yang menggunakannya, dan lembaga pendidikan kita dituntut agar mampu
mendasari teknologi tersebut dengan norma-norma agama sehingga hasil teknologi
manusia berdampak positif bagi kehidupan.
d. Ekonomi
Ekonomi merupakan tolak punggung
kehidupan bangsa yang dapat menentukan maju mundurnya suatu proses pembudayaan
bangsa. Perkembangan ekonomi banyak diwarnai oleh sistem pendidikan, demikian
sebaliknya. Di sini pendidik dituntut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
masyarakat, sehingga diadakan “ekonomi penddikan” sebagai perencanaan
pendidikan dalam sektor ekonomi.
e. Masyarakat dan Perubahan
Sosial
Perubahan yang terjadi dalam
sistem kehidupan sosial sering kali mengalami ketidakpastian tujuan serta tak
terarah tujuan yang disepakati. Di sinilah pendidik sebagai pengarah yang
rasional dan konstruktif, sehingga problem-problem sosial dapat dipecahkan
mengingat lembaga pendidikan Islam sebagai lembaga kemasyarakatan yang
berfungsi sebagai “agen sosial of change”.
f. Sistem Nilai
Sistem nilai dijadikan tolak ukur
bagi tingkah laku manusia dalam masyarakat yang mengandung potensi pengendali,
namun sekarang perubahan itu menghilangkan nilai tradisi yang ada, lembaga
pendidikan di sini sangat diperlukan karena salah satu fungsi lembaga
pendidikan yaitu mengawetkan sistem nilai yang telah dikembangkan oleh
masyarakat.
[1]
Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Jakarta: Kanisius, 1988), h. 144.
[2]
Tim Depag RI, Islam untuk Disiplin Ilmu Sosiologi, (Jakarta: P3AI-PTU, 1988),
h. 108.
[3]Arifin
HM, Ilmu pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991), h. 39-40.
[4]Ali
Saifullah, Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, (Surabaya: Usaha Nasional,
1989), h. 111.
[5]Tim
Depag RI, Islam Untuk Pendidikan ..., (Jakarta: P3AI-PTU, 1984), h. 180-183.
[6]Arifin
HM, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h
248.
Makalah IPI: Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam
4/
5
Oleh
Anonymous