Posisi Akal Dan Nafsu Dalam Islam Serta
Kedudukannya Dalam Pendidikan
PEMBAHASAN
A. Surat Ali Imron ayat
190-191
cÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@ø©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ tûïÏ%©!$# tbrãä.õt ©!$# $VJ»uÏ% #Yqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbrã¤6xÿtGtur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ
Yang Artinya:
Ayat 190 : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
Ayat 191 : (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka
peliharalah kami dari siksa neraka.
SABABUN NUZUL
Menurut riwayat Abu Ishak al-muqariy, Abdullah bin
Hamid, Ahmad bin Muhammad bin Yahya Al-Abidiy dan seterusnya, bahwa orang
Quraisy Yahudi berkata; apakah ayat-ayat yang telah dibawa oleh Musa? Mereka
menjawab: tongkat dan tangannya putih bagi orang yang melihatnya. Selanjutnya
mereka datang kepada orang-orang Nasrani dan berkata: bagaimanakah dengan yang
dibawa oleh Isa terhadapmu? Mereka menjawab: menyembuhkan orang yang lepra dan
penyakit kulit serta menghidupkan orang mati. Kemudian mereka datang kepada
Nabi dan berkata: Coba engkau ubah bukit Shafa ini menjadi emas untuk kami,
maka turunlah ayat 190-191 dalam surat Ali Imran tersebut.
PENAFSIRAN
Kata
akal (العقل)
yang berasal dari bahasa Arab dalam bentuk kata benda, tidak akan kita temukan
dalam Al-Qur’an. Namun, ketika Al-Qur’an akan mengungkap kata akal maka akan
didapatkan bentuk kata kerjanya yaitu : عقلوه, نعقل, يعقلها,يعقلون kata-kata itu
dapat diartikan dengan paham dan mengerti.
Selain
itu kata akal juga diidentikan dengan kata LubI jamaknya al-Albab,
sehingga ulul Albal diartikan orang-orang yang berakal. Dalam Q.S. Ali
Imran/3:190-191 dinyatakan :
ان في خلق السموات
والارض واختلاف الليل والنهار لايات لاولي الالبا ب.الذين يذ كرون الله قياما
وقعودا وعلي جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والارض ربنا ما خلقت هذا با طلا
سبحانك فقنا عذاب النار
Pada
ayat tersebut di atas terlihat bahwa orang yang berakal (Ulul Albab)
adalah orang yang melakukan dan memadukan antara tadzakkur dan Tafakkur
yakni mengingat Allah dan memikirkan ciptaannya. Dengan melakukan kedua
hal tersebut akan sampai kepada hikmah yaitu mengetahui, memahami dan
menghayati bahwa di balik fenomena Alam dan segala sesuatu yang ada didalamnya
menunjukan adanya Sang Pencipta Allah SWT.Muhammad Abduh menyatakan bahwa
dengan merenungkan penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam akan
membawa manusia menyaksikan ke-Esaan Allah yaitu adanya aturan yang dibuat-Nya
serta karunia dan berbagai manfaat yang terdapat di dalamnya. Hal itu
menunjukan kepada fungsi akal sebagai alat untuk mengingat, berfikir dan
merenung.
Lebih
lanjut Al-Maraghy mengatakan bahwa keberuntungan dan kemenangan akan tercipta
dengan mengingat keagaungan Allah dan memikirkan terhadap segala ciptaan-Nya
(makhluk-Nya). Kebahagiaan tersebut dapat dilhat dari munculnya bebagai temuan
manusia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada hakikatnya merupakan
generalisasi atau teorisasi terhadap gejala-gejala dan hukum yang
terdapat di alam jagat raya ini. Keadaan tersebut dapat mengantarkan pula
manusia untuk mensyukuri dan meyakini bahwa segala cipataan Allah ternyata amat
bermanfaat dan tidak ada sia-sia.
Dalam ayat 191, diterangkan
karakteristik Ulil Albab, yaitu selalu melakukan aktivitas dzikir dan fikir
sebagai metode memahami alam, baik yang ghaib maupun yang nyata.
Dzikir, secara
bahasa berasal dari kata dzakara , tadzakkara, yang artinya menyebut, menjaga,
mengingat-ingat. Secara istilah dzikir artinya tidak pernah melepaskan Allah
dari ingatannya ketika beraktifitas. Baik ketika duduk, berdiri, maupun
berbaring. Ketiga hal itu mewakili aktifitas manusia dalam hidupnya.
Jadi,dzikir merupakan aktivitas yang harus selalu dilakukan dalam kehidupan.
Dzikir dapat dilkukan dengan hati,lisan, maupun perbuatan. Dzikir dengan hati
artinya kalbu manusia harus selalu bertaubat kepada Allah, disebabkan adanya
cinta, takut, dan harap kepada-Nya yang berhimpun di hati (Qolbudz Dzakir).
Dari sini tumbuh keimanan yang kokoh, kuat dan mengakar di hati. Dzikir dengan
lisan berarti menyebut nama Allah dengan lisan. Misalnya saat mendapatkan
nikmat mengucapkan hamdalah. Ketika memulai suatu pekerjaan mengucapkan
basmalah. Ketika takjub mengucapkan tasbih. Dzikir dengan perbuatan berarti
memfungsikan seluruh anggota badan dalam kegiatan yang sesuai dengan aturan
Allah.
Fikir, secara
bahasa adalah fakara, tafakkara yang artinya memikirkan, mengingatkan,
teringat. Dalam hal ini berpikir berarti memikirkan proses kejadian alam
semesta dan berbagai fenomena yang ada di dalamnya sehingga mendapatkan manfaat
daripadanya dan teringat atau mengingatkan kita kepada sang Pencipta alam,
Allah SWT. Dengan dzikir manusia akan memahami secara jelas petunjuk ilahiyah
yang tersirat maupun yang tersurat dalam al-Qur’an maupun as-sunnah sebagai
minhajul hayah (pedoman hidup). Dengan fikir, manusia mampu menggali berbagai
potensi yang terhampar dan terkandung pada alam semesta. Aktivitas dzikir dan
fikir tersebut harus dilakukan secara seimbang dan sinergis (saling berkaitan
dan mengisi). Sebab jika hanya melakukan aktivitas fikir, hidup manusia akan
tenggelam dalam kesesatan. Jika hanya melakukan aktivitas dzikir, manusia akan
terjerumus dalam hidup jumud (tidak berkembang, statis). Sedangkan, jika
melakukan aktivitas dzikir dan fikir tetapi masing-masing terpisah,
dikhawatirkan manusia akan menjadi sekuler.
Bagi Ulil Albab, kedua aktivitas
itu akan berakhir pada beberapa kesimpulan:
1. Allah dengan segala kebesaran dan keagungan-Nya
adalah pencipta alam semesta termasuk manusia.
2. Tiada yang sia-sia dalam penciptaan alam. Semua
mengandung nilai-nilai dan manfaat.
3. Mensucikan Allah dengan bertasbih dan bertahmid memuji-Nya.
3. Mensucikan Allah dengan bertasbih dan bertahmid memuji-Nya.
4. Menumbuhkan ketundukan dan rasa takut kepada
Allah dan hari Akhir.
B. Surah Shad Ayat
26
ß¼ãr#y»t $¯RÎ) y7»oYù=yèy_ ZpxÿÎ=yz Îû ÇÚöF{$# Läl÷n$$sù tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# Èd,ptø:$$Î/ wur ÆìÎ7®Ks? 3uqygø9$# y7¯=ÅÒãsù `tã È@Î6y «!$# 4 ¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbq=ÅÒt `tã È@Î6y «!$# öNßgs9 Ò>#xtã 7Ïx© $yJÎ/ (#qÝ¡nS tPöqt É>$|¡Ïtø:$# ÇËÏÈ
26.
Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,
Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
PENAFSIRAN
Pada
ayat tersebut dengan tegas Allah mengingatkan nabi Daud sebagai penguasa (raja)
agar memimpin rakyatnya dan memutuskan berbagai perkara dengan seadil-adilnya,
yaitu sikap yang tidak membeda-membedakan antara satu kelompok dengan kelompok
yang lainnya. Selanjutnya Daud diingatkan pula agar tidak memperturutkan hawa
nafsu, karena dapt menyebabkan manusia melakukan perbuatan yang tidak sejalan
dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan tersebut akan merugikan dirinya,
masyarakat sekitarnya bahkan pelakunya akan menerima azab dari Allah SWT. Maka
jelaslah bahwa seorang pemimpin yang baik adalah orang yang mendahulukan
kebenaran yang diputuskan akalnya, bukan yang gemar memperturutkan hawa
nafsunya dalam setiap perbuatan dan tindakannya.
Hawa
nafsu yang ada dalam diri manusia adalah merupakan tempat dimana syetan
memasukan peranan, dan pengaruhnya. Pengaruh itu dapat tampil dalam berbagai
bentuknya dan menyentuh berbagai lapisan masyarakat baik kaya atau miskin,
pejabat atau rakyat, pedagang atau pegawai, wanita atau pria, pemuda maupun
orangtua dan seterusnya.Padahal jika keadaan manusia dalam berbagai lapisan
tersebut telah terpedaya dan diperbudak oleh hawa nafsunya maka akan hancurlah
segala tatanan kehidupan baik ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan dan
sebagainya.
C.
Surat al-Kahfi ayat 28
÷É9ô¹$#ur y7|¡øÿtR yìtB tûïÏ%©!$# cqããôt Næh/u Ío4rytóø9$$Î/ ÄcÓÅ´yèø9$#ur tbrßÌã ¼çmygô_ur ( wur ß÷ès? x8$uZøtã öNåk÷]tã ßÌè? spoYÎ Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( wur ôìÏÜè? ô`tB $uZù=xÿøîr& ¼çmt7ù=s% `tã $tRÌø.Ï yìt7¨?$#ur çm1uqyd c%x.ur ¼çnãøBr& $WÛãèù ÇËÑÈ
28.
dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di
pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah
kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami,
serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.
Secara harfiyah
(etimologis), sabar artinya “tertahan”, “menahan”, atau “mencegah”, dari bahasa
Arab: shobaro. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan sabar sebagai (1) tahan
menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah
hati); tabah; dan (2) tenang; tidak tergesa-gesa; tidak terburu nafsu. Secara
maknawiyah (terminologis), sabar artinya menahan diri dari mengikuti keinginan
hawa nafsu, emosi, berkeluh-kesah, dan mengendalikan diri sehingga tidak
berbuat sesuatu yang melanggar aturan, serta kuat dalam melawan berbagai
godaan.
Sementara
itu pula kata hawa nafsu yang diungkapkan Al-Qur’an dengan kata al-Hawa’
(الهوى)
yang diulang 37 kali, mencakup berbagai aspeknya. Pertama, menyangkut
pengertiannya kebinasaan. Kedua, berkenaan dengan sifatnya yatiu
enggan menerima kebenaran. Ketiga, berkenaan dengan sasarannya yang
menyesatkan manusia (Q.S.an-Nisa/4:135). Keempat, berkenaan dengan
lawannya yaitu al-haqq (kebenaran). Kelima, berkenaan dengan
pahala bagi orang yang tak terpedaya dengan hawa nafsu dan mematuhi perintah
Allah SWT (Q.S. An-Nazia’at/79;40-41). Dengan begitu, dapatlah diketahui bahwa
hawa nafsu yang terdapat dalam diri manusia cenderung untuk mengajak
manusia kepada hal-hal yang bersifat merusak, menyesatkan, menyengsarakan
dan menghinakan bagi orang yang mengikutinya.
Abu Hamid Imam al- Ghazali menyebut ada tiga bentuk
perlawanan manusia terhadap hawa nafsu, yaitu:
1. Nafs
al-Muthmainnah (nafsu yang tenang), yaitu: Ketika iman menang melawan
hawa nafsu, sehingga perbuatan manusia tersebut lebih banyak yang baik daripada
yang buruk. Dengan kata lain mereka yang mampu menguasai terhadap hawa
nafsunya.
2. Nafs
al-Lawwamah (nafsu
yang gelisah dan menyesali dirinya sendiri), yaitu: Ketika
iman kadangkala menang dan kadangkala kalah melawan hawa nafsu, sehingga
manusia tersebut perbuatan baiknya relatif seimbang dengan perbuatan buruknya.
Mereka yang sentiasa dalam bertarik tali melawan hawa nafsu. Adakalanya dia
menang dan ada kalanya kalah. inilah orang yang sedang berjuang (mujahadah).
Mereka ini menunaikan apa yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad melalui
sabdanya yang bermaksud: ”Berjuanglah kamu melawan hawa nafsumu sebagaimana
kamu berjuang melawan musuh-musuhmu.”
3. Nafs
al-Ammaarah al-Suu’ (nafsu yang mengajak kepada keburukan),
yaitu: Ketika iman kalah dibandingkan dengan hawa nafsu, sehingga manusia
tersebut lebih banyak berbuat yang buruk daripada yang baik. Mereka inilah yang
hawa nafsu sepenuhnya telah dikuasai dan tidak dapat melawannya sama sekali.
HUBUNGANNYA DENGAN PENDIDIKAN
Implikasi kependidikan dari pemahaman terhadap
uraian di atas adalah bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang harus
mempertimbangkan potensi akal. Pendidikan harus membina, mengarahkan dalam
mengembangkan potensi akal pikirannya sehingga ia terampil dalam memecahkan
berbagai masalah, diisi dengan berbagai konsep-konsep dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, memiliki pemahaman tentang yang baik dan benar.
Berbagai materi pendidikan yang terdapat dalam kurikulum harus memuat mata
pelajaran yang bertujuan membina akal tersebut. Demikian pula metode dan
pendekatan yang merangsang akal pikiran harus dipergunakan. Fenomena alam raya
dengan segala isinya dapat digunakan untuk melatih akal agar mampu merenung dan
menangkap pesan ajaran yang terdapat di dalamnya. Dengan akal yang dibina dan
diarahkan seperti itu, maka ia diharapkan dapat terampil dan kokoh dalam
menghalangi berbagai pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh hawa nafsu.
Seiring dengan itu pula pendidikan harus
mengarahkan dan mengingatkan manusia agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan
yang dapat merangsang dorongan hawa nafsu, seperti berpakaian mini yang membuka
aurat, berjudi, minum-minuman keras, narkoba, pergaulan bebas dan sebagainya.
Pendidikan Islam harus menekankan larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang
dapat mengundang nafsu syahwat tersebut. Diketahui bahwa dengan berpakaian
mini, membuka aurat atau ketat akan mengundang dorongan birahi seksual bagi
orang yang melihatnya sehingga terjadilah pemerkosaan. Demikian pula narkoba dapat
menyebabkan manusia lupa diri, lepas kontrol dan dengan mudah melakukan
pelanggaran tanpa rasa malu. Selanjutnya pergaulan bebas akan membuat peluang
seseorang melakukan perzinahan. Demikian pula berjudi menyebabkan orang tidak
puas, ingin terus menang jika ia menang, dan terus berjuang jika ia kalah dalam
judinya sampai ia sengsara.
Materi pendidikan yang dapat meredam gejolak hawa
nafsu itu adalah pendidikan akhlak dan budi pekerti yang mulia, yaitu budi
pekerti dan akhlak yang sifatnya bukan hanya pengetahuan, tetapi penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Orang yang telah terbina akalnya dan telah
terkendalikan bawa nafsunya dengan pendidikan sebagaimana tersebut di atas,
maka ia akan menjadi orang yang tangguh mentalnya, tahan uji dalam hidup, tidak
mudah terjerumus dan siap menghadapi ujian hidup. Berbagai kesulitan dan
problema yang diterima oleh orang yang telah kuat jiwanya ini akan dihadapinya
dengan jiwa yang tenang. Ia tidak lekas cepat kehilangan keseimbangan, karena
dengan akal pikirannya ia menemukan berbagai rahasia dan hikmah yang terdapat
di balik ujian dan kesulitan yang dihadapinya. Baginya kesulitan dan tantangan
bukan dianggap sebagai beban yang membuat dirinya lari darinya, melainkan
dihadapinya dengan tenang, dan mengubahnya menjadi peluang, rahmat dan
kemenangan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan
jelas bahwa kajian terhadap akal dan hawa nafsu secara utuh, komprehensif dan
benar merupakan masukan yang amat penting bagi perumusan konsep pendidikan
dalam Islam.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Yang dimaksud dengan orang yang berakal adalah
orang yang melakukan dua hal yaitu tazakkur yakni mengingat Allah, dan tafakkur,
yaitu memikirkan ciptaan Allah.
Seluruh pengertian tentang akal adalah menunjukkan
bahwa adanya potensi yang dimiliki oleh akal itu sendiri, yaitu selain
berfungsi sebagai alat untuk mengingat, memahami, mengerti, juga menahan,
mengikat dan mengendalikan hawa nafsu. Melalui proses memahami dan mengerti
secara mendalam terhadap segala ciptaan Allah, manusia selain akan menemukan
berbagai temuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, juga akan membawa
dirinya dekat dengan Allah. Dan melalui proses menahan, mengikat dan
mengendalikan hawa nafsunya membawa manusia selalu berada di jalan yang benar,
jauh dari kesesatan dan kebinasaan.
Nafsu
juga termasuk salah satu potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia yang
cenderung kepada hal-hal yang bersifat merusak, menyesatkan, menyengsarakan,
dan menghinakan bagi orang yang mengikutinya. Atas dasar itu, maka manusia
diperingatkan agar berhati-hati.
Implikasi tentang posisi akal dan nafsu terhadap
bidang pendidikan adalah bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang
harus mempertimbangkan potensi akal. Pendidikan harus membina, mengarahkan dan
mengembangkan potensi akal pikirannya sehingga ia terampil dalam memecahkan
berbagai masalah, diisi dengan berbagai konsep-konsep dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, memiliki pemahaman tentang yang baik dan benar.
Berbagai materi pendidikan yang terdapat dalam kurikulum harus memuat mata
pelajaran yang bertujuan membina akal tersebut. Demikian pula metode dan
pendekatan yang merangsang akal pikiran harus dipergunakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr. H. Abuddin
Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta, Rajawali Pers, 2009
Makalah Tafsir Tarbawi, Posisi Akal dan Nafsu dalam Islam
4/
5
Oleh
Anonymous