Wednesday, December 16, 2015

Makalah Tafsir Tarbawi, Posisi Akal dan Nafsu dalam Islam

Posisi Akal Dan Nafsu Dalam Islam Serta Kedudukannya Dalam Pendidikan

PEMBAHASAN

A. Surat Ali Imron ayat 190-191
žcÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ   tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ­/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ  
Yang Artinya:
Ayat 190 : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
Ayat 191 :  (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.
SABABUN NUZUL

Menurut riwayat Abu Ishak al-muqariy, Abdullah bin Hamid, Ahmad bin Muhammad bin Yahya Al-Abidiy dan seterusnya, bahwa orang Quraisy Yahudi berkata; apakah ayat-ayat yang telah dibawa oleh Musa? Mereka menjawab: tongkat dan tangannya putih bagi orang yang melihatnya. Selanjutnya mereka datang kepada orang-orang Nasrani dan berkata: bagaimanakah dengan yang dibawa oleh Isa terhadapmu? Mereka menjawab: menyembuhkan orang yang lepra dan penyakit kulit serta menghidupkan orang mati. Kemudian mereka datang kepada Nabi dan berkata: Coba engkau ubah bukit Shafa ini menjadi emas untuk kami, maka turunlah ayat 190-191 dalam surat Ali Imran tersebut.
PENAFSIRAN
Kata akal (العقل) yang berasal dari bahasa Arab dalam bentuk kata benda, tidak akan kita temukan dalam Al-Qur’an. Namun, ketika Al-Qur’an akan mengungkap kata akal maka akan didapatkan bentuk kata kerjanya yaitu : عقلوه, نعقل, يعقلها,يعقلون   kata-kata itu dapat diartikan dengan paham dan mengerti.
Selain itu kata akal juga diidentikan dengan kata LubI jamaknya al-Albab, sehingga ulul Albal diartikan orang-orang yang berakal. Dalam Q.S. Ali Imran/3:190-191 dinyatakan :
ان في خلق السموات والارض واختلاف الليل والنهار لايات لاولي الالبا ب.الذين يذ كرون الله قياما وقعودا وعلي جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والارض ربنا ما خلقت هذا با طلا سبحانك فقنا عذاب النار 
Pada ayat tersebut di atas terlihat bahwa orang yang berakal (Ulul Albab)  adalah orang yang melakukan dan memadukan antara tadzakkur dan Tafakkur yakni mengingat Allah dan memikirkan ciptaannya. Dengan melakukan kedua hal  tersebut akan sampai kepada hikmah yaitu mengetahui, memahami dan menghayati bahwa di balik fenomena Alam dan segala sesuatu yang ada didalamnya menunjukan adanya Sang Pencipta Allah SWT.Muhammad Abduh menyatakan bahwa dengan merenungkan penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam akan membawa manusia menyaksikan ke-Esaan Allah yaitu adanya aturan yang dibuat-Nya serta karunia dan berbagai manfaat yang terdapat di dalamnya. Hal itu menunjukan kepada fungsi akal sebagai alat untuk mengingat, berfikir dan merenung.
Lebih lanjut Al-Maraghy mengatakan bahwa keberuntungan dan kemenangan akan tercipta dengan mengingat keagaungan Allah dan memikirkan terhadap segala ciptaan-Nya (makhluk-Nya). Kebahagiaan tersebut dapat dilhat dari munculnya bebagai temuan manusia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada hakikatnya merupakan generalisasi atau teorisasi terhadap gejala-gejala  dan hukum yang terdapat di alam jagat raya ini. Keadaan tersebut dapat mengantarkan pula manusia untuk mensyukuri dan meyakini bahwa segala cipataan Allah ternyata amat bermanfaat  dan tidak ada sia-sia.
Dalam ayat 191, diterangkan karakteristik Ulil Albab, yaitu selalu melakukan aktivitas dzikir dan fikir sebagai metode memahami alam, baik yang ghaib maupun yang nyata.
Dzikir, secara bahasa berasal dari kata dzakara , tadzakkara, yang artinya menyebut, menjaga, mengingat-ingat. Secara istilah dzikir artinya tidak pernah melepaskan Allah dari ingatannya ketika beraktifitas. Baik ketika duduk, berdiri, maupun berbaring. Ketiga hal itu mewakili aktifitas manusia dalam hidupnya. Jadi,dzikir merupakan aktivitas yang harus selalu dilakukan dalam kehidupan. Dzikir dapat dilkukan dengan hati,lisan, maupun perbuatan. Dzikir dengan hati artinya kalbu manusia harus selalu bertaubat kepada Allah, disebabkan adanya cinta, takut, dan harap kepada-Nya yang berhimpun di hati (Qolbudz Dzakir). Dari sini tumbuh keimanan yang kokoh, kuat dan mengakar di hati. Dzikir dengan lisan berarti menyebut nama Allah dengan lisan. Misalnya saat mendapatkan nikmat mengucapkan hamdalah. Ketika memulai suatu pekerjaan mengucapkan basmalah. Ketika takjub mengucapkan tasbih. Dzikir dengan perbuatan berarti memfungsikan seluruh anggota badan dalam kegiatan yang sesuai dengan aturan Allah.
Fikir, secara bahasa adalah fakara, tafakkara yang artinya memikirkan, mengingatkan, teringat. Dalam hal ini berpikir berarti memikirkan proses kejadian alam semesta dan berbagai fenomena yang ada di dalamnya sehingga mendapatkan manfaat daripadanya dan teringat atau mengingatkan kita kepada sang Pencipta alam, Allah SWT. Dengan dzikir manusia akan memahami secara jelas petunjuk ilahiyah yang tersirat maupun yang tersurat dalam al-Qur’an maupun as-sunnah sebagai minhajul hayah (pedoman hidup). Dengan fikir, manusia mampu menggali berbagai potensi yang terhampar dan terkandung pada alam semesta. Aktivitas dzikir dan fikir tersebut harus dilakukan secara seimbang dan sinergis (saling berkaitan dan mengisi). Sebab jika hanya melakukan aktivitas fikir, hidup manusia akan tenggelam dalam kesesatan. Jika hanya melakukan aktivitas dzikir, manusia akan terjerumus dalam hidup jumud (tidak berkembang, statis). Sedangkan, jika melakukan aktivitas dzikir dan fikir tetapi masing-masing terpisah, dikhawatirkan manusia akan menjadi sekuler.
Bagi Ulil Albab, kedua aktivitas itu akan berakhir pada beberapa kesimpulan:
1. Allah dengan segala kebesaran dan keagungan-Nya adalah pencipta alam semesta termasuk manusia.
2. Tiada yang sia-sia dalam penciptaan alam. Semua mengandung nilai-nilai dan manfaat.
3. Mensucikan Allah dengan bertasbih dan bertahmid memuji-Nya.
4. Menumbuhkan ketundukan dan rasa takut kepada Allah dan hari Akhir.

B. Surah Shad Ayat 26
ߊ¼ãr#y»tƒ $¯RÎ) y7»oYù=yèy_ ZpxÿÎ=yz Îû ÇÚöF{$# Läl÷n$$sù tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# Èd,ptø:$$Î/ Ÿwur ÆìÎ7®Ks? 3uqygø9$# y7¯=ÅÒãŠsù `tã È@Î6y «!$# 4 ¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbq=ÅÒtƒ `tã È@Î6y «!$# öNßgs9 Ò>#xtã 7ƒÏx© $yJÎ/ (#qÝ¡nS tPöqtƒ É>$|¡Ïtø:$# ÇËÏÈ  
26. Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
PENAFSIRAN
Pada ayat tersebut dengan tegas Allah mengingatkan nabi Daud sebagai penguasa (raja) agar memimpin rakyatnya dan memutuskan berbagai perkara dengan seadil-adilnya, yaitu sikap yang tidak membeda-membedakan antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Selanjutnya Daud diingatkan pula agar tidak memperturutkan hawa nafsu, karena dapt menyebabkan manusia melakukan perbuatan yang tidak sejalan dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan tersebut akan merugikan dirinya, masyarakat sekitarnya bahkan pelakunya akan menerima azab dari Allah SWT. Maka jelaslah bahwa seorang pemimpin yang baik adalah orang yang mendahulukan kebenaran yang diputuskan akalnya, bukan yang gemar memperturutkan hawa nafsunya dalam setiap perbuatan dan tindakannya.
Hawa nafsu yang ada dalam diri manusia adalah merupakan tempat dimana syetan memasukan peranan, dan pengaruhnya. Pengaruh itu dapat tampil dalam berbagai bentuknya dan menyentuh berbagai lapisan masyarakat baik kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, pedagang atau pegawai, wanita atau pria, pemuda maupun orangtua dan seterusnya.Padahal jika keadaan manusia dalam berbagai lapisan tersebut telah terpedaya dan diperbudak oleh hawa nafsunya maka akan hancurlah segala tatanan kehidupan baik ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan dan sebagainya.

C. Surat al-Kahfi ayat 28
÷ŽÉ9ô¹$#ur y7|¡øÿtR yìtB tûïÏ%©!$# šcqããôtƒ Næh­/u Ío4rytóø9$$Î/ ÄcÓÅ´yèø9$#ur tbr߃̍ム¼çmygô_ur ( Ÿwur ß÷ès? x8$uZøŠtã öNåk÷]tã ߃̍è? spoYƒÎ Ío4quŠysø9$# $u÷R9$# ( Ÿwur ôìÏÜè? ô`tB $uZù=xÿøîr& ¼çmt7ù=s% `tã $tR̍ø.ÏŒ yìt7¨?$#ur çm1uqyd šc%x.ur ¼çnãøBr& $WÛãèù ÇËÑÈ  
28. dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.
Secara harfiyah (etimologis), sabar artinya “tertahan”, “menahan”, atau “mencegah”, dari bahasa Arab: shobaro. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan sabar sebagai (1) tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati); tabah; dan (2) tenang; tidak tergesa-gesa; tidak terburu nafsu. Secara maknawiyah (terminologis), sabar artinya menahan diri dari mengikuti keinginan hawa nafsu, emosi, berkeluh-kesah, dan mengendalikan diri sehingga tidak berbuat sesuatu yang melanggar aturan, serta kuat dalam melawan berbagai godaan.
  Sementara itu pula kata hawa nafsu yang diungkapkan Al-Qur’an dengan kata al-Hawa’ (الهوى) yang diulang 37 kali, mencakup berbagai aspeknya. Pertama, menyangkut pengertiannya kebinasaan. Kedua, berkenaan dengan sifatnya  yatiu enggan menerima kebenaran. Ketiga, berkenaan dengan sasarannya yang menyesatkan manusia (Q.S.an-Nisa/4:135). Keempat, berkenaan dengan lawannya yaitu al-haqq (kebenaran). Kelima, berkenaan dengan pahala bagi orang yang tak terpedaya dengan hawa nafsu dan mematuhi perintah Allah SWT (Q.S. An-Nazia’at/79;40-41). Dengan begitu, dapatlah diketahui bahwa hawa nafsu yang terdapat dalam diri manusia cenderung untuk mengajak manusia  kepada hal-hal yang bersifat merusak, menyesatkan, menyengsarakan dan menghinakan bagi orang yang mengikutinya.

Abu Hamid Imam al- Ghazali menyebut ada tiga bentuk perlawanan manusia terhadap hawa nafsu, yaitu:

1. Nafs al-Muthmainnah (nafsu yang tenang), yaitu: Ketika iman menang melawan hawa nafsu, sehingga perbuatan manusia tersebut lebih banyak yang baik daripada yang buruk. Dengan kata lain mereka yang mampu menguasai terhadap hawa nafsunya.
2. Nafs al-Lawwamah (nafsu yang gelisah dan menyesali dirinya sendiri), yaitu: Ketika iman kadangkala menang dan kadangkala kalah melawan hawa nafsu, sehingga manusia tersebut perbuatan baiknya relatif seimbang dengan perbuatan buruknya. Mereka yang sentiasa dalam bertarik tali melawan hawa nafsu. Adakalanya dia menang dan ada kalanya kalah. inilah orang yang sedang berjuang (mujahadah). Mereka ini menunaikan apa yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad melalui sabdanya yang bermaksud: ”Berjuanglah kamu melawan hawa nafsumu sebagaimana kamu berjuang melawan musuh-musuhmu.”
3. Nafs al-Ammaarah al-Suu’ (nafsu yang mengajak kepada keburukan), yaitu: Ketika iman kalah dibandingkan dengan hawa nafsu, sehingga manusia tersebut lebih banyak berbuat yang buruk daripada yang baik. Mereka inilah yang hawa nafsu sepenuhnya telah dikuasai dan tidak dapat melawannya sama sekali.

HUBUNGANNYA DENGAN PENDIDIKAN
Implikasi kependidikan dari pemahaman terhadap uraian di atas adalah bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang harus mempertimbangkan potensi akal. Pendidikan harus membina, mengarahkan dalam mengembangkan potensi akal pikirannya sehingga ia terampil dalam memecahkan berbagai masalah, diisi dengan berbagai konsep-konsep dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki pemahaman tentang yang baik dan benar. Berbagai materi pendidikan yang terdapat dalam kurikulum harus memuat mata pelajaran yang bertujuan membina akal tersebut. Demikian pula metode dan pendekatan yang merangsang akal pikiran harus dipergunakan. Fenomena alam raya dengan segala isinya dapat digunakan untuk melatih akal agar mampu merenung dan menangkap pesan ajaran yang terdapat di dalamnya. Dengan akal yang dibina dan diarahkan seperti itu, maka ia diharapkan dapat terampil dan kokoh dalam menghalangi berbagai pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh hawa nafsu.
Seiring dengan itu pula pendidikan harus mengarahkan dan mengingatkan manusia agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merangsang dorongan hawa nafsu, seperti berpakaian mini yang membuka aurat, berjudi, minum-minuman keras, narkoba, pergaulan bebas dan sebagainya. Pendidikan Islam harus menekankan larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat mengundang nafsu syahwat tersebut. Diketahui bahwa dengan berpakaian mini, membuka aurat atau ketat akan mengundang dorongan birahi seksual bagi orang yang melihatnya sehingga terjadilah pemerkosaan. Demikian pula narkoba dapat menyebabkan manusia lupa diri, lepas kontrol dan dengan mudah melakukan pelanggaran tanpa rasa malu. Selanjutnya pergaulan bebas akan membuat peluang seseorang melakukan perzinahan. Demikian pula berjudi menyebabkan orang tidak puas, ingin terus menang jika ia menang, dan terus berjuang jika ia kalah dalam judinya sampai ia sengsara.
Materi pendidikan yang dapat meredam gejolak hawa nafsu itu adalah pendidikan akhlak dan budi pekerti yang mulia, yaitu budi pekerti dan akhlak yang sifatnya bukan hanya pengetahuan, tetapi penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Orang yang telah terbina akalnya dan telah terkendalikan bawa nafsunya dengan pendidikan sebagaimana tersebut di atas, maka ia akan menjadi orang yang tangguh mentalnya, tahan uji dalam hidup, tidak mudah terjerumus dan siap menghadapi ujian hidup. Berbagai kesulitan dan problema yang diterima oleh orang yang telah kuat jiwanya ini akan dihadapinya dengan jiwa yang tenang. Ia tidak lekas cepat kehilangan keseimbangan, karena dengan akal pikirannya ia menemukan berbagai rahasia dan hikmah yang terdapat di balik ujian dan kesulitan yang dihadapinya. Baginya kesulitan dan tantangan bukan dianggap sebagai beban yang membuat dirinya lari darinya, melainkan dihadapinya dengan tenang, dan mengubahnya menjadi peluang, rahmat dan kemenangan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa kajian terhadap akal dan hawa nafsu secara utuh, komprehensif dan benar merupakan masukan yang amat penting bagi perumusan konsep pendidikan dalam Islam.


PENUTUP
A. KESIMPULAN
Yang dimaksud dengan orang yang berakal adalah orang yang melakukan dua hal yaitu tazakkur yakni mengingat Allah, dan tafakkur, yaitu memikirkan ciptaan Allah.
Seluruh pengertian tentang akal adalah menunjukkan bahwa adanya potensi yang dimiliki oleh akal itu sendiri, yaitu selain berfungsi sebagai alat untuk mengingat, memahami, mengerti, juga menahan, mengikat dan mengendalikan hawa nafsu. Melalui proses memahami dan mengerti secara mendalam terhadap segala ciptaan Allah, manusia selain akan menemukan berbagai temuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, juga akan membawa dirinya dekat dengan Allah. Dan melalui proses menahan, mengikat dan mengendalikan hawa nafsunya membawa manusia selalu berada di jalan yang benar, jauh dari kesesatan dan kebinasaan.
Nafsu juga termasuk salah satu potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia yang cenderung kepada hal-hal yang bersifat merusak, menyesatkan, menyengsarakan, dan menghinakan bagi orang yang mengikutinya. Atas dasar itu, maka manusia diperingatkan agar berhati-hati.
Implikasi tentang posisi akal dan nafsu terhadap bidang pendidikan adalah bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang harus mempertimbangkan potensi akal. Pendidikan harus membina, mengarahkan dan mengembangkan potensi akal pikirannya sehingga ia terampil dalam memecahkan berbagai masalah, diisi dengan berbagai konsep-konsep dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki pemahaman tentang yang baik dan benar. Berbagai materi pendidikan yang terdapat dalam kurikulum harus memuat mata pelajaran yang bertujuan membina akal tersebut. Demikian pula metode dan pendekatan yang merangsang akal pikiran harus dipergunakan.




DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta, Rajawali Pers, 2009


Related Posts

Makalah Tafsir Tarbawi, Posisi Akal dan Nafsu dalam Islam
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.