Friday, December 11, 2015

Contoh Makalah, Masailul Fiqh; Kekerasan dan Toleransi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
            Kekerasan ada dalam setiap masyarakat. Kekerasan bisa fisik, bisa simbolis. Ia bisa diterima atau diderita. Kekerasan muncul dalam rekontruksi, reproduksi ataupun transformasi hubungan social. Sejak Negara muncul, Negara membangun dirinya di atas kekerasan, dan Max Weber menyatakan bahwa, tindakan kekerasan yang absah merupakan salah satu karakteristik Negara. Ada juga pemikir mengatakan bahwa, sebab kekerasan harus dicari dalam jiwa manusia. Di Indonesia akhir-akhir ini konflik dan aksi-aksi kekerasan atas nama agama semakin marak d mana-mana. Mulai dari kasus bom Bali, bom Kuningan, penyerbuan kampus, Ahmadiyah di Parung sampai penutupan rumah ibadah kristiani di Bandung, Jawa Barat.
            Di luar negeri, kekerasan atas nama agama mengambil bentuk-bentuk dalam berbagai kejadian seperti orang-orang Yahudi yang membunuh kaum muslimin yang tengah shalat di mesjid, orang-orang hindu di India yang membakar mesjid,  orang-orang islam di Mesir yang meneror dan membunuh para turis di Bangladesh.
            Fenomena di atas melahirkan wacana agama yang paradoksal bahwa ia tidak hanya bersifat rahmatan lil alamin tapi juga bencana, karena melahirkan fenomene-fenomena kekerasan. Meskipun terdapat banyak pernyataan pembelaan diri khususnya dari kalangan agamawan, bahwa agama secara esensial hanya mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan, tetapi manusia saja yang kemudian yang menyalahgunakan agama untuk kepentingan pribadi atau kelompok sehingga menyulut kekerasan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa makna dari kekerasan dan toleransi?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi kekerasan dalam agama?
3. Apa hukum dan solusi terhadap kekerasan dalam agama?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Kekeraasan dan Toleransi
1. Kekerasan
Menurut Wignyosoebroto (1997) pengertian kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (atau yang tengah merasa kuat) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lebih lemah (atau yang tengah dipandang berada dalam keadaan lebih lemah), berdasarkan kekuatan fisiknya yang superior, dengan kesenjangan untuk dapat ditimbulkannya rasa derita di pihak yang tengah menjadi objek kekerasan itu. Namun, tak jarang pula tindak kekerasan ini terjadi sebagi bagian dari tindakan manusia untuk tak lain daripada melampiaskan rasa amarah yang sudah tak tertahan lagi olehnya.
Menurut Santoso (2002 : 24) kekerasan juga bisa diartikan dengan serangan memukul (assault and battery) merupakan kategori hukum yang mengacu pada tindakan illegal yang melibatkan ancaman dan aplikasi actual kekuatan fisik kepada orang lain. Serangan dengan memukul dan pembunuhan secara resmi dipandang sebagai tindakan individu meskipun tindakan tersebut dipengaruhi oleh tindakan kolektif. Jadi, tindakan individu-individu ini terjadi dalam konteks suatu kelompok, sebagaimana kekerasan kolektif. Kekerasan kolektif muncul dari situasi konkrit yang sebelumnya didahului oleh sharing gagasan, nilai, tujuan dan masalah bersama dalam periode waktu yang lebih lama.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang merasa dirinya kuat kepada seseorang atau sekelompok orang yang dianggapnya lemah, di mana dapat dilakukan dengan cara memukul, membacok, menyiksa.
Dalam pandangan ajaran agama islam bahwa yang dimaksud dengan kekerasan adalah perbuatan yang bersifat memaksa dalam arti kata memaksakan kehendak dengan cara memerintah ataupun permohonan yang harus dilaksanakan atau wajib untuk dilaksanakan dan apabila perintah itu tidak dilaksanakan maka ada konsekuensi atau tindakan-tindakan yang berupa kekerasan.
2. Toleransi
Kata toleransi berasal dari bahasa Latin tolerare yang berarti bertahan atau memikul. Toleran di sini diartikan dengan saling memikul walaupun pekerjaan itu tidak disukai; atau memberi tempat kepada orang lain, walaupun kedua belah pihak tidak sependapat (Siagian, 1993:115). Dengan demikian toleransi menunjuk pada adanya suatu kerelaan untuk menerima kenyataan adanya orang lain yang berbeda.
Menurut Webster’s New American Dictionary arti toleransi adalah liberty to ward the opinions of others, patients with others (memberi kebebasan (membiarkan) pendapat orang lain, dan berlaku sabar menghadapi orang lain). Toleransi diartikan memberikan tempat kepada pendapat yang berbeda. Pada saat bersamaan sikap menghargai pendapat yang berbeda itu disertai dengan sikap menahan diri atau sabar. Oleh karena itu di antara orang yang berbeda pendapat harus memperlihatkan sikap yang sama yaitu saling mengharagai dengan sikap yang sabar.
Padanan kata toleransi dalam bahasa Arab adalah kata tasamuh. Tasamuh dalam bahasa Arab berarti membiarkan sesuatu untuk dapat saling mengizinkan dan saling memudahkan. Dari kata tasamuh tersebut dapat diartikan agar di antara mereka yang berbeda pendapat hendaknya bisa saling memberikan tempat bagi pendapatnya. Masing-masing pendapat memperoleh hak untuk mengembangkan pendapatnya dan tidak saling menjegal satu sama lain.
Dari beberapa pendapat di atas toleransi dapat diartikan sebagai sikap menenggang, membiarkan, membolehkan, baik berupa pendirian, kepercayaan, dan kelakuan yang dimiliki seseorang atas yang lainnya. Dengan kata lain toleransi adalah sikap lapang dada terhadap prinsip orang lain. Toleransi tidak berarti seseorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dianutnya. Dalam toleransi sebaliknya tercermin sikap yang kuat atau istiqamah untuk memegangi keyakinan atau pendapatnya sendiri.

Toleransi dalam Pandangan Islam
Dalam sejarah kehidupan umat Islam sikap toleransi telah diletakkan pada saat awal Nabi Muhammad saw membangun Negara Madinah. Sesaat setelah Nabi Muhammad saw hijrah ke kota Madinah, Nabi segera melihat adanya pluralitas yang terdapat di kota Madinah. Pluralitas yang dihadapi Nabi antara lain tidak hanya karena perbedaan etnis semata, tetapi juga perbedaan yang disebabkan agama. Madinah tidak bersifat homogen dengan agama, tetapi di Madinah di samping yang beragama Islam, terdapat pula penduduk yang beragama Yahudi dan Nasrani. Melihat pluralitas keagamaan ini Nabi berinisiatif untuk membangun kebersamaan dengan yang berbeda agama. Inisiatif itu kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan Piagam Madinah. Dalam pandangan Nurcholish Madjid (1992:195) Piagam Madinah merupakan dokumen politik resmi pertama yang meletakkan prinsip kebebasan beragama dan berusaha. Bahkan sesungguhnya Nabi juga membuat perjanjian tersendiri yang menjamin kebebasan dan keamanan umat Kristen di mana saja, sepanjang masa.
Contoh lain dari wujud toleransi Islam terhadap agama lain diperlihatkan oleh Umar ibn al-Khattab. Umar membuat sebuah perjanjian dengan penduduk Yerussalem, setelah kota suci itu ditaklukan oleh kaum Muslimin. Isi perjanjian itu antara lain berbunyi “…Ia (Umar, pen) menjamin mereka keamanan untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, serta yang dalam keadaan sakit ataupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apa pun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya…” (Nurcholish Madjid, 1992:193).
Kebijakan politik yang dilakukan baik oleh Nabi Muhammad SAW atau Umar ibn al-Khattab di atas tentu dengan dasar-dasar pijakan yang terdapat dalam al-Qur‟an. Dalam beberapa ayatnya al-Qur‟an menyatakan:
“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah…” (QS. Al-Baqarah (2):256).
“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir…” (QS. Al-Kahfi (18):29).
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya” (QS. Yunus (10):99).
Ayat-ayat tersebut menjadi dasar tentang adanya kebebasan manusia untuk menentukan pilihan atas agamanya. Prinsip-prinsip itulah yang mendasari kebijakan politik umat Islam tentang kebebasan beragama. Meskipun tidak sepenuhnya sama dengan yang ada di zaman modern ini, namun prinsip-prinsip kebebasan beragama dalam zaman klasik itu sama dengan yang terjadi sekarang.
Dalam hubungannya dengan orang-orang yang tidak seagama, Islam mengajarkan agar umat Islam berbuat baik dan bertindak adil kepada siapapun yang tidak memerangi umat Islam karena agama yang dianut. Al-Qur’an juga mengajarkan agar umat Islam mengutamakan terciptanya suasana perdamaian, hingga timbul rasa kasih sayang di antara umat Islam dengan umat beragama lain. Adanya kerjasama yang baik antara umat Islam dan umat beragama lain tidaklah menjadi halangan dalam Islam. Keadaan demikian digambarkan dalam al-Qur‟an:
“Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia, supaya ia sempat mendengarkan firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya” (QS. Al-Taubah (9):6).
“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahanah (60):7-8).
Seiring dengan arti toleransi di atas, yaitu memberikan tempat kepada orang yang berbeda agama, tidak berarti mengakui kebenaran semua agama. Toleransi tidak dapat diartikan mengakui kebenaran semua agama dan tidak pula dapat diartikan kesediaan untuk mengikuti ibadat-ibaat keagamaan lain. Allah telah menentukan bahwa agama yang diridhai di sisi-Nya adalah agama Islam. Antara agama Islam dengan agama kenabian yang lain mungkin ditemukan adanya persamaan, akan tetapi tidak dapat dielakkan bahwa telah terjadi perbedaan dalam beberapa hal, yang menurut keyakinan Islam hal itu terjadi akibat campur tangan manusia. Begitu pula antara Islam dan agama bukan kenabian, kemungkinan terdapat persamaan, terutama dalam ajaran moralnya, karena akal budi manusia bisa sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang sejalan dengan wahyu.
Toleransi harus dibedakan dari kompromisme, yaitu menerima apa saja yang dikatakan orang lain asal bisa menciptakan kedamaian dan kerukunan, atau saling memberi dan menerima demi terwujudnya kebersamaan. Kompromisme tidak dapat diterapkan dalam kehidupan beragama.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kekerasan dalam Agama
1. Kurangnya pendidikan agama yang dia peroleh atau dengan kata lain dia tidak menghayati atau memahami keseluruhan esensi dari agama yang dia anut.
2. Kurangnya pengawasan serta perhatian dari orang tua atau keluarganya serta kerabat baiknya dalam mengendalikan cara pergaulannya di dalam lingkungan sehingga ia mudah dihasut.
3. Lingkungan pergaulan, di manapun itu, yang tidak kondusif serta berpotensi menumbuhkan pola pikir sempit atau skeptis bahkan radikal terhadap agama yang ia anut. Sebagai contoh akhir-akhir ini banyak orang-orang Indonesia yang pergi ke Timur Tengah atau Afganistan bahkan beberapa negara lainnya seperti Filipina yang di mana pada awalnya tujuan mereka pergi ke sana ialah untuk studi namun kemudian setelah pulang kembali ke Indonesia mereka berubah menjadi teroris diakibatkan oleh pengaruh lingkungan serta ajaran selama mereka berada di sana dari orang-orang berpola pikir sempit serta radikal. Contoh lainnya ialah di mana tersangka teroris seperti Imam Samudera dan Amrozi yang memang sejak muda sudah dilatih dan tinggal di lingkungan militan teroris di Afganistan sehingga wajar jika begitu pulang ke Indonesia mereka sudah jadi teroris.
4. Ketidakpuasan ekonomi dan hal-hal yang bersifat material yang dia peroleh dalam hidup, sehingga untuk melampiaskan kekesalan dan ketidakpuasannya dia melakukan aksi teror dengan dalih atas nama agama karena mungkin saja hal itu justru akan mengobati ketidakpuasannya dalam bidang ekonomi tersebut.
5. Agama memberikan bahasa, mitologi, ilustrasi yang bisa digunakan oleh para pemimpin politik atau politik keagamaan untuk memotivasi umatnya melakukan kekerasan.
6. Agama merupakan sumber identitas yang sangat kuat; oleh sebab itu apabila para pemimpin politik menggunakan agama, berdasarkan agama yang mayoritas, untuk mengkonstruksi sebuah identitas nasional, maka pintu terhadap kekerasan akan terbuka lebar.
7. Agama bisa digunakan secara politis untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan, ekonomi atau perkara material lainnya.

C. Hukum dan Solusi terhadap Kekerasan dalam Agama
1. Hukum kekerasan dalam agama
a. Hukumnya boleh bahkan bisa wajib. Ini atas dasar banyak dalil baik di dalam al-Qur’an maupun Hadits Nabi SAW. yang mendasarinya.  Di antaranya di sebutkan dalam surah At-Taubah ayat 5 bahwa: “…faqtulul musyrikîna haitsu wajadtumûhum…”, artinya “…maka bunuhlah olehmu orang-orang musyrik itu di mana pun kamu jumpai…”. Dalam surah Muhammad ayat 4 dikatakan bahwa , “Fa idzâ laqîtum al-ladzîna kafarû fa dharba riqâb…, artinya “Kalau kalian bertemu orang-orang kafir di medan perang) maka penggallah lehernya…”. Dalam surah Al-Anfal ayat 39 dikatakan bahwa, “waqâtilûhum hattâ la yakûna fitnantun wa yakûna dînu kullahû lillah”, artinya: “dan bunuhlahlah orang-orang musyrik itu sehingga tidak ada fitnah dan semata-mata agama untuk Allah”.
Dalam al-Qur'an surah Al-Anfal ayat 60 yang disebutkan: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak dianiaya (dirugikan)”. Dengan merujuk secara harfiyah pada ayat-ayat al-Qur'an seperti di atas, maka dengan demikian melakukan tindak kekerasan dengan baju agama bukan saja boleh tetapi wajib dilakukan oleh umat Islam. Ini pendapat yang pertama, yang menjadi pegangan Osamah bin Laden, al-Qaedah dan lain sebagainya.
b. Kekerasan atas nama agama itu dilarang, kekerasan dengan alasan agama atau berbaju agama haram hukumnya. Karena di dalam Al-Qur'an ada ayat yang menyatakan: “La ikrâha fi al-dîn”, “tidak ada paksaan di dalam agama” (QS. Al-Baqarah: 120). Ayat yang lain menyatakan bahwa: “… Fa man syâ'a falyu'min wa man syâ'a falyakfur”, artinya: “Orang boleh memilih, barang siapa ingin beriman maka boleh beriman, dan barang siapa hendak kufur, maka silahkan saja kufur” (QS. al-Kahfi: 29) . Ada lagi ayat yang berbunyi, “Lakum dînukum wa liya dîn”, artinya: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6). Dengan merujuk pada ayat-ayat al-Qur'an seperti ini, maka Islam tidak boleh dilaksanakan atas dasar paksaan.
c. Hukum melakukan kekerasan atas dasar agama adalah syubhat (tidak jelas). Karena memang ada ta'arudh baîna adillah, ada pertentangan antara dalil-dalil atau ayat-ayat yang menganjurkan kekerasan dan dalil-dalil yang menentangnya. Jadi hukum kekerasan atas nama agama menurut pendapat yang ketiga adalah syubhat. Tetapi, di dunia pesantren, lebih khusus di kalangan para sufi atau orang-orang yang menjaga diri dari perbuatan buruk (orang-orang wara'), syubhat adalah juga perkara yang harus ditinggalkan dan dijauhi selain tentu perkara yang hukumnya haram.
Di antara beberapa pendapat di atas, penulis berpegang bahwa kekerasan atas nama atau berbasis agama tidak bisa dibenarkan. Memang di dalam al-Qur'an ada dua kelompok ayat, kelompok ayat yang menganjurkan tindak kekerasan atas dasar agama dan ada kelompok ayat yang justru sebaliknya. Ada ayat yang menyatakan bahwa “La ikrâha fi al-dîn”, yang artinya: “tidak ada paksaan di dalam agama” (QS. Al-Baqarah: 120), dan ada ayat yang berbunyi “Faqtulû musyrikîna haitsu wajadtumûhum”, yang artinya: “maka bunuhlah olehmu orang-orang musyrik di mana pun kalian jumpai” (QS. At-Taubah: 5). Di sana ada ta'arudhul adilah (pertentangan dalil) di dalam al-Qur'an. Ayat al-Qur'an yang menyatakan “faqtulul musyirikina, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu” bisa dinasakh (dihapus maknanya) dengan ayat “La ikrâha fi al-din, tidak ada paksaan dalam agama”. Atau bisa dilakukan takhsish (spesifikasi) atau nasakh juz'iy di dalam ushul fiqh, karenaa “La ikraha” dalam ayat yang menyatakan “La ikraha fi al-din”, bila dikaji dari sisi ilmu nahwu (tata bahasa Arab) maka, “La” di sana menunjukkan pada La linafyil jinsi. Artinya kata La, yang bermakna tidak ada itu meliputi seluruh jenis paksaan di dalam agama. Artinya Islam sama sekali tidak bisa dijalankan dengan paksaan.   
Sementara kata ikraha (paksaan) adalah kata tunggal (mufrad). Kata dalam bentuk mufrad yang terletak setelah nafy (negasi) maka disebut kata 'am (umum). Menurut Imam Hanafi kata 'am memiliki dalalahnya adalah qath'iy, artinya menunjukkan makna pasti. Sehingga dengan dalalah qath'iy ini, ayat yang menyatakan “la ikrahâ fi al-din” tidak bisa di ditaksish (disepesifikkan) atau di nasakh (dihapus maknanya) dengan hadits atau ayat lain yang dalalahnya adalah dzanni (tidak pasti). Karena itu la ikraha fi al-din, yang artinya tidak ada paksaan dalam agama adalah dalil atau yang menunjuk pada hukum utama. Sementara itu dalil-dalil lain tidak bisa menggantikan posisi utama dalil atau ayat itu.
Ada hadits yang menyatakan bahwa man baddala dînahu faqtulûh, artinya: “Siapa yang berpindah agama (dari Islam) maka boleh untuk dibunuh”. Hadits atau dalil semacam ini berbahaya bila dipraktekkan di Indonesia. Hadits ini adalah hadits Ahad yang belum memenuhi syarat-syarat sebagai hadits mutawatir (yang sanadnya sampai ke Nabi SAW.). Karena ia hadits Ahad maka dalalahnya atau makna yang ditunjukkanya adalah dzanny (tidak pasti). Sehingga tidak bisa diterapkan sebagai landasan hukum.


2. Solusi terhadap Kekerasan dalam Agama
a. Meningkatkan deteksi dini terhadap berbagai peristiwa yang potensial menjadi pemicu munculnya aksi kekerasan dengan mengatasnamakan agama atau kelompok;
b. Menghimbau kepada instansi terkait (pemerintah atau non pemerintah) untuk berupaya mencegah mengeluarkan kebijakan yang dapat memicu terjadinya aksi kekerasan masa dengan mengatasnamakan agama atau kelompok;
c. Melakukan sosialisasi tentang upaya mewujudkan keharmonisan antar warga masyarakat bersama dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat, sehingga dapat dihasilkan kesamaan pandang tentang makna keharmonisan;
d. Melakukan kaji ulang terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang potensial menjadi pemicu munculnya kondisi disharmonis di tengah-tengah masyarakat;
e. Melakukan berbagai aksi sosial dan keagamaan yang ditujukan untuk membangun dan menumbuhkembangkan rasa solidaritas dan harmonitas antar umat beragama (masyarakat);
f. Meminta dukungan dari berbagai kalangan, legislatif, eksekutif, dan yudikatif, tidak terkecuali tokoh agama dan tokoh masyarakat, terhadap setiap tindakan tegas yang akan dilakukan guna mencegah kekerasan dengan mengatasnamakan agama dan kelompok, sehingga setiap tindak tegas tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kekerasan dalam agama adalah perbuatan yang memaksakan kehendak dengan cara memerintah ataupun permohonan yang harus dilaksanakan atau wajib untuk dilaksanakan dan apabila perintah itu tidak dilaksanakan maka ada konsekuensi atau tindakan-tindakan yang berupa kekerasan yang didasarkan atas nama agama. Dan hukum dari kekerasan dalam agama adalah tidak dibenarkan walaupun dengan alasan apapun.



DAFTAR PUSTAKA

Beuken Wim, Agama Sebagai Sumber Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003
Jalaluddin, Psikologi Agama. Jakarta : Grafindo. 2008

Audi Robert, Agama dan Nalar Sekuler. Yogyakarta: UII press. 2002

Related Posts

Contoh Makalah, Masailul Fiqh; Kekerasan dan Toleransi
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.