BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Kekerasan ada dalam setiap
masyarakat. Kekerasan bisa fisik, bisa simbolis. Ia bisa diterima atau
diderita. Kekerasan muncul dalam rekontruksi, reproduksi ataupun transformasi
hubungan social. Sejak Negara muncul, Negara membangun dirinya di atas
kekerasan, dan Max Weber menyatakan bahwa, tindakan kekerasan yang absah
merupakan salah satu karakteristik Negara. Ada juga pemikir mengatakan bahwa,
sebab kekerasan harus dicari dalam jiwa manusia. Di Indonesia akhir-akhir ini
konflik dan aksi-aksi kekerasan atas nama agama semakin marak d mana-mana.
Mulai dari kasus bom Bali, bom Kuningan, penyerbuan kampus, Ahmadiyah di Parung
sampai penutupan rumah ibadah kristiani di Bandung, Jawa Barat.
Di luar negeri, kekerasan atas nama
agama mengambil bentuk-bentuk dalam berbagai kejadian seperti orang-orang Yahudi
yang membunuh kaum muslimin yang tengah shalat di mesjid, orang-orang hindu di
India yang membakar mesjid, orang-orang
islam di Mesir yang meneror dan membunuh para turis di Bangladesh.
Fenomena di atas melahirkan wacana
agama yang paradoksal bahwa ia tidak hanya bersifat rahmatan lil alamin tapi
juga bencana, karena melahirkan fenomene-fenomena kekerasan. Meskipun terdapat
banyak pernyataan pembelaan diri khususnya dari kalangan agamawan, bahwa agama
secara esensial hanya mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan, tetapi
manusia saja yang kemudian yang menyalahgunakan agama untuk kepentingan pribadi
atau kelompok sehingga menyulut kekerasan.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
makna dari kekerasan dan toleransi?
2. Apa saja
faktor yang mempengaruhi kekerasan dalam agama?
3. Apa
hukum dan solusi terhadap kekerasan dalam agama?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Kekeraasan dan Toleransi
1. Kekerasan
Menurut Wignyosoebroto (1997)
pengertian kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau
sejumlah orang yang berposisi kuat (atau yang tengah merasa kuat) terhadap
seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lebih lemah (atau yang tengah dipandang
berada dalam keadaan lebih lemah), berdasarkan kekuatan fisiknya yang superior,
dengan kesenjangan untuk dapat ditimbulkannya rasa derita di pihak yang tengah
menjadi objek kekerasan itu. Namun, tak jarang pula tindak kekerasan ini
terjadi sebagi bagian dari tindakan manusia untuk tak lain daripada
melampiaskan rasa amarah yang sudah tak tertahan lagi olehnya.
Menurut Santoso (2002 : 24)
kekerasan juga bisa diartikan dengan serangan memukul (assault and battery)
merupakan kategori hukum yang mengacu pada tindakan illegal yang melibatkan
ancaman dan aplikasi actual kekuatan fisik kepada orang lain. Serangan dengan
memukul dan pembunuhan secara resmi dipandang sebagai tindakan individu
meskipun tindakan tersebut dipengaruhi oleh tindakan kolektif. Jadi, tindakan
individu-individu ini terjadi dalam konteks suatu kelompok, sebagaimana
kekerasan kolektif. Kekerasan kolektif muncul dari situasi konkrit yang
sebelumnya didahului oleh sharing gagasan, nilai, tujuan dan masalah bersama
dalam periode waktu yang lebih lama.
Berdasarkan pengertian di atas
dapat disimpulkan bahwa kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang yang merasa dirinya kuat kepada seseorang atau
sekelompok orang yang dianggapnya lemah, di mana dapat dilakukan dengan cara
memukul, membacok, menyiksa.
Dalam pandangan ajaran agama islam bahwa yang dimaksud dengan kekerasan
adalah perbuatan yang bersifat memaksa dalam arti kata memaksakan kehendak
dengan cara memerintah ataupun permohonan yang harus dilaksanakan atau wajib
untuk dilaksanakan dan apabila perintah itu tidak dilaksanakan maka ada
konsekuensi atau tindakan-tindakan yang berupa kekerasan.
2. Toleransi
Kata toleransi berasal
dari bahasa Latin tolerare yang berarti bertahan atau memikul.
Toleran di sini diartikan dengan saling memikul walaupun pekerjaan itu
tidak disukai; atau memberi tempat kepada orang lain, walaupun kedua belah
pihak tidak sependapat (Siagian, 1993:115). Dengan demikian toleransi menunjuk
pada adanya suatu kerelaan untuk menerima kenyataan adanya orang lain yang
berbeda.
Menurut
Webster’s New American Dictionary arti toleransi adalah liberty to
ward the opinions of others, patients with others (memberi kebebasan
(membiarkan) pendapat orang lain, dan berlaku sabar menghadapi orang lain).
Toleransi diartikan memberikan tempat kepada pendapat yang berbeda. Pada saat
bersamaan sikap menghargai pendapat yang berbeda itu disertai dengan sikap
menahan diri atau sabar. Oleh karena itu di antara orang yang berbeda pendapat
harus memperlihatkan sikap yang sama yaitu saling mengharagai dengan sikap yang
sabar.
Padanan
kata toleransi dalam bahasa Arab adalah kata tasamuh. Tasamuh dalam
bahasa Arab berarti membiarkan sesuatu untuk dapat saling mengizinkan dan
saling memudahkan. Dari kata tasamuh tersebut dapat diartikan agar di antara
mereka yang berbeda pendapat hendaknya bisa saling memberikan tempat bagi
pendapatnya. Masing-masing pendapat memperoleh hak untuk mengembangkan
pendapatnya dan tidak saling menjegal satu sama lain.
Dari
beberapa pendapat di atas toleransi dapat diartikan sebagai sikap menenggang,
membiarkan, membolehkan, baik berupa pendirian, kepercayaan, dan kelakuan yang
dimiliki seseorang atas yang lainnya. Dengan kata lain toleransi adalah sikap
lapang dada terhadap prinsip orang lain. Toleransi tidak berarti seseorang
harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dianutnya. Dalam toleransi
sebaliknya tercermin sikap yang kuat atau istiqamah untuk memegangi
keyakinan atau pendapatnya sendiri.
Toleransi dalam
Pandangan Islam
Dalam
sejarah kehidupan umat Islam sikap toleransi telah diletakkan pada saat awal
Nabi Muhammad saw membangun Negara Madinah. Sesaat setelah Nabi Muhammad saw
hijrah ke kota Madinah, Nabi segera melihat adanya pluralitas yang terdapat di
kota Madinah. Pluralitas yang dihadapi Nabi antara lain tidak hanya karena
perbedaan etnis semata, tetapi juga perbedaan yang disebabkan agama. Madinah
tidak bersifat homogen dengan agama, tetapi di Madinah di samping yang beragama
Islam, terdapat pula penduduk yang beragama Yahudi dan Nasrani. Melihat
pluralitas keagamaan ini Nabi berinisiatif untuk membangun kebersamaan dengan
yang berbeda agama. Inisiatif itu kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan
Piagam Madinah. Dalam pandangan Nurcholish Madjid (1992:195) Piagam Madinah
merupakan dokumen politik resmi pertama yang meletakkan prinsip kebebasan
beragama dan berusaha. Bahkan sesungguhnya Nabi juga membuat perjanjian
tersendiri yang menjamin kebebasan dan keamanan umat Kristen di mana saja,
sepanjang masa.
Contoh
lain dari wujud toleransi Islam terhadap agama lain diperlihatkan oleh Umar ibn
al-Khattab. Umar membuat sebuah perjanjian dengan penduduk Yerussalem, setelah
kota suci itu ditaklukan oleh kaum Muslimin. Isi perjanjian itu antara lain
berbunyi “…Ia (Umar, pen) menjamin mereka keamanan untuk jiwa dan harta mereka,
dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, serta yang dalam keadaan sakit
ataupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka
tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu
apa pun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya…” (Nurcholish
Madjid, 1992:193).
Kebijakan
politik yang dilakukan baik oleh Nabi Muhammad SAW atau Umar ibn al-Khattab di
atas tentu dengan dasar-dasar pijakan yang terdapat dalam al-Qur‟an. Dalam
beberapa ayatnya al-Qur‟an menyatakan:
“Tidak ada
paksaan untuk memasuki agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang salah…” (QS. Al-Baqarah (2):256).
“Dan
katakanlah: “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin
beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia
kafir…” (QS. Al-Kahfi (18):29).
“Dan jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.
Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya” (QS. Yunus (10):99).
Ayat-ayat
tersebut menjadi dasar tentang adanya kebebasan manusia untuk menentukan
pilihan atas agamanya. Prinsip-prinsip itulah yang mendasari kebijakan politik
umat Islam tentang kebebasan beragama. Meskipun tidak sepenuhnya sama dengan
yang ada di zaman modern ini, namun prinsip-prinsip kebebasan beragama dalam
zaman klasik itu sama dengan yang terjadi sekarang.
Dalam
hubungannya dengan orang-orang yang tidak seagama, Islam mengajarkan agar umat
Islam berbuat baik dan bertindak adil kepada siapapun yang tidak memerangi umat
Islam karena agama yang dianut. Al-Qur’an juga mengajarkan agar umat Islam
mengutamakan terciptanya suasana perdamaian, hingga timbul rasa kasih sayang di
antara umat Islam dengan umat beragama lain. Adanya kerjasama yang baik antara
umat Islam dan umat beragama lain tidaklah menjadi halangan dalam Islam.
Keadaan demikian digambarkan dalam al-Qur‟an:
“Dan jika
seseorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu,
maka lindungilah ia, supaya ia sempat mendengarkan firman Allah, kemudian
antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya” (QS. Al-Taubah (9):6).
“Mudah-mudahan
Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di
antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil” (QS. Al-Mumtahanah (60):7-8).
Seiring
dengan arti toleransi di atas, yaitu memberikan tempat kepada orang yang
berbeda agama, tidak berarti mengakui kebenaran semua agama. Toleransi tidak
dapat diartikan mengakui kebenaran semua agama dan tidak pula dapat diartikan
kesediaan untuk mengikuti ibadat-ibaat keagamaan lain. Allah telah menentukan
bahwa agama yang diridhai di sisi-Nya adalah agama Islam. Antara agama Islam
dengan agama kenabian yang lain mungkin ditemukan adanya persamaan, akan tetapi
tidak dapat dielakkan bahwa telah terjadi perbedaan dalam beberapa hal, yang
menurut keyakinan Islam hal itu terjadi akibat campur tangan manusia. Begitu
pula antara Islam dan agama bukan kenabian, kemungkinan terdapat persamaan,
terutama dalam ajaran moralnya, karena akal budi manusia bisa sampai pada
kesimpulan-kesimpulan yang sejalan dengan wahyu.
Toleransi
harus dibedakan dari kompromisme, yaitu menerima apa saja yang dikatakan
orang lain asal bisa menciptakan kedamaian dan kerukunan, atau saling memberi
dan menerima demi terwujudnya kebersamaan. Kompromisme tidak dapat diterapkan
dalam kehidupan beragama.
B. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Kekerasan dalam Agama
1. Kurangnya pendidikan agama yang dia peroleh atau dengan kata lain dia
tidak menghayati atau memahami keseluruhan esensi dari agama yang dia anut.
2. Kurangnya pengawasan serta perhatian dari orang tua atau keluarganya
serta kerabat baiknya dalam mengendalikan cara pergaulannya di dalam lingkungan
sehingga ia mudah dihasut.
3. Lingkungan pergaulan, di manapun itu, yang tidak kondusif serta
berpotensi menumbuhkan pola pikir sempit atau skeptis bahkan radikal terhadap
agama yang ia anut. Sebagai contoh akhir-akhir ini banyak orang-orang Indonesia
yang pergi ke Timur Tengah atau Afganistan bahkan beberapa negara lainnya
seperti Filipina yang di mana pada awalnya tujuan mereka pergi ke sana ialah
untuk studi namun kemudian setelah pulang kembali ke Indonesia mereka berubah
menjadi teroris diakibatkan oleh pengaruh lingkungan serta ajaran selama mereka
berada di sana dari orang-orang berpola pikir sempit serta radikal. Contoh
lainnya ialah di mana tersangka teroris seperti Imam Samudera dan Amrozi yang
memang sejak muda sudah dilatih dan tinggal di lingkungan militan teroris di
Afganistan sehingga wajar jika begitu pulang ke Indonesia mereka sudah jadi
teroris.
4. Ketidakpuasan ekonomi dan hal-hal yang bersifat material yang dia
peroleh dalam hidup, sehingga untuk melampiaskan kekesalan dan ketidakpuasannya
dia melakukan aksi teror dengan dalih atas nama agama karena mungkin saja hal
itu justru akan mengobati ketidakpuasannya dalam bidang ekonomi tersebut.
5. Agama memberikan bahasa, mitologi, ilustrasi yang bisa digunakan oleh
para pemimpin politik atau politik keagamaan untuk memotivasi umatnya melakukan
kekerasan.
6. Agama merupakan sumber identitas yang sangat kuat; oleh sebab itu apabila
para pemimpin politik menggunakan agama, berdasarkan agama yang mayoritas,
untuk mengkonstruksi sebuah identitas nasional, maka pintu terhadap kekerasan
akan terbuka lebar.
7. Agama bisa digunakan secara politis untuk
mencapai tujuan pribadi atau kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan, ekonomi
atau perkara material lainnya.
C. Hukum dan Solusi terhadap Kekerasan dalam Agama
1. Hukum kekerasan dalam agama
a. Hukumnya boleh bahkan bisa wajib. Ini
atas dasar banyak dalil baik di dalam al-Qur’an maupun Hadits Nabi SAW. yang
mendasarinya. Di antaranya di sebutkan dalam surah At-Taubah
ayat 5 bahwa: “…faqtulul musyrikîna haitsu wajadtumûhum…”, artinya
“…maka bunuhlah olehmu orang-orang musyrik itu di mana pun kamu jumpai…”. Dalam
surah Muhammad ayat 4 dikatakan bahwa , “Fa idzâ laqîtum al-ladzîna kafarû
fa dharba riqâb…, artinya “Kalau kalian bertemu orang-orang kafir di medan
perang) maka penggallah lehernya…”. Dalam surah Al-Anfal ayat 39
dikatakan bahwa, “waqâtilûhum hattâ la yakûna fitnantun wa yakûna dînu
kullahû lillah”, artinya: “dan bunuhlahlah orang-orang musyrik itu
sehingga tidak ada fitnah dan semata-mata agama untuk Allah”.
Dalam
al-Qur'an surah Al-Anfal ayat 60 yang disebutkan: “Dan siapkanlah
untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, dan dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan
pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak
dianiaya (dirugikan)”. Dengan merujuk secara harfiyah pada ayat-ayat
al-Qur'an seperti di atas, maka dengan demikian melakukan tindak kekerasan
dengan baju agama bukan saja boleh tetapi wajib dilakukan oleh umat Islam. Ini
pendapat yang pertama, yang menjadi pegangan Osamah bin Laden, al-Qaedah dan
lain sebagainya.
b. Kekerasan atas nama agama itu dilarang,
kekerasan dengan alasan agama atau berbaju agama haram hukumnya.
Karena di dalam Al-Qur'an ada ayat yang menyatakan: “La ikrâha fi al-dîn”,
“tidak ada paksaan di dalam agama” (QS. Al-Baqarah: 120). Ayat yang
lain menyatakan bahwa: “… Fa man syâ'a falyu'min wa man syâ'a falyakfur”,
artinya: “Orang boleh memilih, barang siapa ingin beriman maka boleh beriman,
dan barang siapa hendak kufur, maka silahkan saja kufur” (QS. al-Kahfi:
29) . Ada lagi ayat yang berbunyi, “Lakum dînukum wa liya dîn”,
artinya: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6).
Dengan merujuk pada ayat-ayat al-Qur'an seperti ini, maka Islam tidak boleh
dilaksanakan atas dasar paksaan.
c. Hukum melakukan kekerasan atas dasar agama
adalah syubhat (tidak jelas). Karena memang ada ta'arudh
baîna adillah, ada pertentangan antara dalil-dalil atau ayat-ayat yang
menganjurkan kekerasan dan dalil-dalil yang menentangnya. Jadi hukum kekerasan
atas nama agama menurut pendapat yang ketiga adalah syubhat. Tetapi, di dunia
pesantren, lebih khusus di kalangan para sufi atau orang-orang yang menjaga
diri dari perbuatan buruk (orang-orang wara'), syubhat adalah
juga perkara yang harus ditinggalkan dan dijauhi selain tentu perkara yang
hukumnya haram.
Di
antara beberapa pendapat di atas, penulis berpegang bahwa kekerasan atas nama
atau berbasis agama tidak bisa dibenarkan. Memang di dalam al-Qur'an ada dua
kelompok ayat, kelompok ayat yang menganjurkan tindak kekerasan atas dasar
agama dan ada kelompok ayat yang justru sebaliknya. Ada ayat yang menyatakan
bahwa “La ikrâha fi al-dîn”, yang artinya: “tidak ada paksaan di dalam
agama” (QS. Al-Baqarah: 120), dan ada ayat yang berbunyi “Faqtulû
musyrikîna haitsu wajadtumûhum”, yang artinya: “maka bunuhlah olehmu
orang-orang musyrik di mana pun kalian jumpai” (QS. At-Taubah: 5). Di
sana ada ta'arudhul adilah (pertentangan dalil) di dalam al-Qur'an. Ayat
al-Qur'an yang menyatakan “faqtulul musyirikina, maka bunuhlah
orang-orang musyrik itu” bisa dinasakh (dihapus maknanya) dengan ayat “La
ikrâha fi al-din, tidak ada paksaan dalam agama”. Atau bisa dilakukan takhsish
(spesifikasi) atau nasakh juz'iy di dalam ushul fiqh, karenaa “La
ikraha” dalam ayat yang menyatakan “La ikraha fi al-din”, bila
dikaji dari sisi ilmu nahwu (tata bahasa Arab) maka, “La” di
sana menunjukkan pada La linafyil jinsi. Artinya kata La,
yang bermakna tidak ada itu meliputi seluruh jenis paksaan di dalam agama.
Artinya Islam sama sekali tidak bisa dijalankan dengan paksaan.
Sementara
kata ikraha (paksaan) adalah kata tunggal (mufrad). Kata
dalam bentuk mufrad yang terletak setelah nafy (negasi) maka
disebut kata 'am (umum). Menurut Imam Hanafi kata 'am
memiliki dalalahnya adalah qath'iy, artinya menunjukkan makna
pasti. Sehingga dengan dalalah qath'iy ini, ayat yang menyatakan “la
ikrahâ fi al-din” tidak bisa di ditaksish (disepesifikkan) atau
di nasakh (dihapus maknanya) dengan hadits atau ayat lain yang
dalalahnya adalah dzanni (tidak pasti). Karena itu la ikraha fi
al-din, yang artinya tidak ada paksaan dalam agama adalah dalil atau yang
menunjuk pada hukum utama. Sementara itu dalil-dalil lain tidak bisa
menggantikan posisi utama dalil atau ayat itu.
Ada
hadits yang menyatakan bahwa man baddala dînahu faqtulûh, artinya: “Siapa
yang berpindah agama (dari Islam) maka boleh untuk dibunuh”. Hadits atau
dalil semacam ini berbahaya bila dipraktekkan di Indonesia. Hadits ini adalah
hadits Ahad yang belum memenuhi syarat-syarat sebagai hadits mutawatir
(yang sanadnya sampai ke Nabi SAW.). Karena ia hadits Ahad maka
dalalahnya atau makna yang ditunjukkanya adalah dzanny (tidak
pasti). Sehingga tidak bisa diterapkan sebagai landasan hukum.
2. Solusi
terhadap Kekerasan dalam Agama
a. Meningkatkan deteksi dini terhadap berbagai peristiwa yang potensial
menjadi pemicu munculnya aksi kekerasan dengan mengatasnamakan agama atau
kelompok;
b. Menghimbau kepada instansi terkait (pemerintah atau non pemerintah)
untuk berupaya mencegah mengeluarkan kebijakan yang dapat memicu terjadinya
aksi kekerasan masa dengan mengatasnamakan agama atau kelompok;
c. Melakukan sosialisasi tentang upaya mewujudkan keharmonisan antar
warga masyarakat bersama dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat, sehingga
dapat dihasilkan kesamaan pandang tentang makna keharmonisan;
d. Melakukan kaji ulang terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang
potensial menjadi pemicu munculnya kondisi disharmonis di tengah-tengah
masyarakat;
e. Melakukan berbagai aksi sosial dan keagamaan yang ditujukan untuk
membangun dan menumbuhkembangkan rasa solidaritas dan harmonitas antar umat
beragama (masyarakat);
f. Meminta dukungan dari berbagai kalangan, legislatif, eksekutif, dan
yudikatif, tidak terkecuali tokoh agama dan tokoh masyarakat, terhadap setiap
tindakan tegas yang akan dilakukan guna mencegah kekerasan dengan
mengatasnamakan agama dan kelompok, sehingga setiap tindak tegas tidak dianggap
sebagai pelanggaran HAM.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kekerasan dalam agama adalah
perbuatan yang memaksakan kehendak dengan cara memerintah ataupun permohonan
yang harus dilaksanakan atau wajib untuk dilaksanakan dan apabila perintah itu
tidak dilaksanakan maka ada konsekuensi atau tindakan-tindakan yang berupa
kekerasan yang didasarkan atas nama agama. Dan hukum dari kekerasan dalam agama
adalah tidak dibenarkan walaupun dengan alasan apapun.
DAFTAR PUSTAKA
Beuken Wim, Agama Sebagai Sumber
Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003
Jalaluddin, Psikologi
Agama. Jakarta : Grafindo. 2008
Audi Robert, Agama
dan Nalar Sekuler. Yogyakarta: UII press. 2002
Contoh Makalah, Masailul Fiqh; Kekerasan dan Toleransi
4/
5
Oleh
Anonymous